Tahukah anda?
Kebijakan perekonomian di Indonesia untuk mensejahterakan rakyat Indonesia mencangkup beberapa jenis kebijakan, salah satunya ialah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja suatu Negara (APBN). Pada prinsipnya kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan yang berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama (Mannan , 1997).
Dalam pemerintahan Islam (dahulu kala), kebijakan fiskal telah dikenal sejak zaman Rasulullah Saw. hingga zaman pertengahan. Pada zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat, Baitul Mal adalah sebagai lembaga pengelolaan keuangan Negara sehingga terdapat kebijakan fiskal seperti yang kita kenal saat ini. Kebijakan fiskal di baitul mal memberikan dampak positif terhadap tingkat investasi, penawaran agregat, dan secara tidak langsung memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi (Karim A., 2007, hal. 247). Para pemikir muslim di abad pertengahan juga telah membahas dua dimensi keuangan Negara dalam kebijakan fiskal, yaitu penerimaan Negara dan pengeluaran Negara. Beberapa diantara mereka menganalisis penerimaan Negara dari sumber pajak dan instrumen lainnya (Perwataatmadja, 2008, hal. 2016).
Dalam masalah kebijakan fiskal yang kerangka kerjanya adalah sistem pemasukan dan pengeluaran suatu Negara, maka Negara sebagai institusi publik tugasnya melakukan kerangka kerja tersebut dengan melibatkan masyarakat (Sai'dah , 2008). Penjelasan ini mengandung pengertian bahwa dana yang dihimpun sebagai pemasukan berasal dari masyarakat dan tentunya akan dikeluarkan kembali untuk kesejahteraan masyarakat. Â Jadi dapat disimpulkan bahwa yang terpenting dari fungsi kebijakan ini ialah fungsi distribusinya. Dewasa ini fungsi ini dilaksanakan di Indonesia dengan pungutan pajak sebagai pemasukan dan dikeluarkan kembali untuk sarana dan infrastruktur masyarakat.
[caption caption="baznaas purwakarta"][/caption]Di dalam sistem ekonomi islam, beberapa pakar di abad pertengahan telah membahas dan menganalisis mengenai pungutan pajak. Diantaranya, Abu Yusuf (731-788 M) menganjurkan suatu pajak proporsional terhadap pertanian dari pada suatu pajak tetap yang dipungut terhadap tanah, dengan dasar petani sepertinya memperoleh pendapatan yang lebih besar dan memperluas tanah yang diolahnya. Abu Yusuf menganjurkan untuk mengikuti prinsip keadilan dan kewajaran dalam perpajakan. Sedangkan di sisi pengeluaran Negara, Abu Yusuf menyediakan garis besar petunjuk untuk pengeluaran pembangunan termasuk untuk proyek-proyek irigasi, sistem transportasi, jembatan dan sebagainya. Abu Yusuf menekankan pada kode moral islami dari perilaku pemerintah dalam mengelola dana masyarakat. Karena dana masyarakat ini merupakan kepercayaan dari Allah swt yang harus dipertanggung jawabkan.
Abu Bakr at-Tartusi menyediakan konsep kemampuan membayar dalam prinsip perpajakan, bahwa pajak harus dikenakan hanya pada kelebihan penerimaan setelah memenuhi semua kebutuhan dasar, karena mereka yang masih kekurangan tidak akan mampu membayar pajak (Perwataatmadja, 2008). Secara eksplisit tersirat suatu gagasan tentang batas minimum pendapatan kena pajak dan pendekatan kemampuan membayar pajak yang saat ini berlaku di perpajakan Indonesia.
Ibnu Khadlun (1332-1404 M) menyediakan analisis positif atas pengaruh pajak atas upaya kerja. Pajak  yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi dan penurunan jumlah penduduk (karena emigrasi), yang pada akhirnya akan mengurangi penerimaan pajak karena berkurangnya basis pajak (Perwataatmadja, 2008).
Selain itu, Al-Maqrizi (1364-1442 M) menganalisis permasalahan beban pajak. Al-Maqrizi mengatakan bahwa jika tidak ditangani secara efisien, beban pajak akan dialihkan kepada konsumen, padahal seharusnya ditanggung oleh produsen dan pengusaha dari keutungan yang diperoleh. Konsekuensinya adalah turunnya permintaan akan barang tertentu karena tingginya harga penyesuaian pajak, yang pada gilirannya mempengaruhi pemasok dan akhirnya mempengaruhi kegiatan ekonomi secara keseluruhan (Perwataatmadja, 2008). Teori ini juga terjadi pada masa sekarang, pajak yang dikenakan untuk barang-barang yang dijualbelikan di Indonesia tergolong tinggi, harga jualnya pun ikut tinggi. Sebagai contoh masyarakat saat ini cenderung lebih suka membeli beberapa produk elektronik seperti handphone di luar negeri, hal ini dikarenakan harganya cenderung lebih murah, karena rendahnya atau peniadaan pajak barang tersebut. Selain itu fenomena black market hingga saat ini juga masih sangat marak terjadi di Indonesia, fenomena ini terjadi karena harga barang yang di jual di black market cenderung lebih murah daripada barang resmi yang sudah dikenakan pajak oleh pemerintah.
Pajak sebagai salah satu instrumen dari kebijakan fiskal yang dijalankan di Indonesia tentunya memberikan banyak manfaat kepada masyarakat. Dengan catatan pemerintah melakukan pendampingan dalam setiap proyek pembangunan sarana dan infrastruktur yang dananya berasal dari pajak, agar hasil dari pembangunan sarana dan infrastruktur tersebut sesuai dengan ekspektasi dan rancangan yang dibuat untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus tegas dalam menetapkan aturan mengenai siapa yang menjadi wajib pajak, agar tidak ada unsur pemaksaan dalam konteks masyarakat miskin. Juga pemerintah seharusnya mengkaji lagi tentang peraturan yang membebankan pajak kepada konsumen/pembeli, agar meminimalisir kecenderungan masyarakat untuk tidak membeli produk di Indonesia.
Selain pajak, dalam rangka tugas pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan sarana dan infrastruktur masyarakat. Ibnu Taimiyyah berpendapat berdasarkan al-Qur’an dan Hadist, pendapatan Negara yang sesuai dengan syariah ada tiga macam yaitu ghanimah, zakat dan fa’i (Perwataatmadja, 2008, hal. 218).
Masih ada penjelasan selanjutnya ya...