Mohon tunggu...
Iqbal Elhakim
Iqbal Elhakim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mahasiswa fakultas hukum Universitas Djuanda Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jabon Alpi 1999

16 September 2014   02:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:35 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1999, di bawah langit senja, matahari menguning pekat di ufuk barat, angin muson timur masih berhembus serarah kemarau di bumi tropis, layang-layang merah terbang tinggi menantang, lempar gulungannya dan biarkan anak kecil itu menjuntaikan nyawa lawannya, beberapa kakek tua sibuk menebas rumput liar untuk makanan ternak, seorang pemuda mengepakkan sayap merpati betina, berharap sang jantan dari timur terbang fokus kearahnya dan memenangi lomba esok lusa, seorang bocah kecil menepuk jidad saat gagal membuat goal di depan gawang lawannya, di bawah langit senja, hamparan luas tanah 3 hektar terjadi beragam warna hidup dengan warna riang keceriaan hingga gelap menjemput.

Kira-kira seperti itu yang saya ingat tempo dulu, saat tanah-tanah perkebunan belum dimakan perumahan, dan teknologi belum seegois sekarang.

Dulu... setiap sore kami rutin bermain sepak bola di lapangan gratis dan asal jadi, kami beri nama Jabon Alpi, berasal dari kata Jabonese yang berarti tanah tidak terurus (ngarang) dan Alpi dari nama stadion club sepakbola liga Italia yaitu Juventus.

Lapangan di kelilingi kebun singkong, dan jagung, juga beberapa petak tanah kosong dengan tumbuhan liar.

Lapangan tidak hanya di isi dengan anak-anak bermain bola, ada juga segelintir yang bermain layang-layang, beberapa pemuda sibuk melatih burung merpati untuk di jagokan di perlombaan tahunan, orang tua sibuk membabat rumput liar untuk makanan ternak mereka, dan ada juga yang sibuk mengurusi kebunnya.

Ada beberapa hal menarik dari cara bermain bola kami, dengan kesan sedikit maksa dan nyeleneh, tetapi tujuan kami hanya satu, yaitu gembira.


  • Tanpa garis pembatas, kami bermain bola di lapangan asal jadi, out hanya berlaku saat bola masuk ke kebun.
  • Tiang gawang dengan tumpukan sendal, di ukur semaunya, tidak lebar dan tidak sempit, asalkan terjangkau, jika bola menyentuh sendal maka statusnya kena tiang, terkadang ada kiper yang jail dengan mengkorup sedikit luas gawangnya.
  • Tanpa ada seorang wasit, semua pemain menjadi wasit yang menentukan entah itu goal, out, dan pelanggaran, semua berdasarkan persetujuan bersama.
  • Tanpa mistar gawang, jika bola mengarah ke gawang dan tanpa jangkauan seorang kiper maka di anggap goal kick, hal ini sering menimbulkan konflik dengan lawan.
  • Jumlah pemain tidak sama, terkadang 8-9, 7-6, 7-8, dan pembagian pemain di seimbangkan dengan kemampuan individu tiap pemain.
  • Full Time di tandai dengan suaran shalawatan dari masjid, kira-kira setengah jam sebelum adzan magrib berkumandang.
  • Pulang bermain bola mampir kerumah teman yang punya kulkas di rumahnya, nebeng minum air es.


Dibawah langit senja, merpati jantan terbang tinggi mencari arah kepakan sayap betinanya, layang-layang merah melayang juntai di tebas lawan, anak kecil itu melempar topinya kesal, lalu tertunduk lemas sambil menggulung benang putus. Seorang pemuda mendongak kelangit melepas pandangan jauh ke arah merpati jantannya sambil mengepakkan sayap sang betina.Kakek tua tersenyum lelah, bergegas pulang dengan sekarung rerumputan untuk ternaknya. Seorang bocah kecil menyundul bola hasil umpan lambung temannya, kali ini sempurna ia ciptakan goal sebagai penutup pertandingan, matahari nyaris tenggelam di ufuk barat, hamparan luas tanah 3 hektar kini siap berganti warna, warna perhentian, warna mimpi... mimpi anak kecil dapat mengalahkan banyak lawan layang-layangnya, mimpi sipemuda menjuarai turnamen merpati tahunan, mimpi sang kakek melihat cucunya menjadi sarjana, mimpi seorang bocah kecil membuat goal ke gawang Gianluigi Buffon, dan mimpi sejuta kunang-kunang untuk seribu tahun lagi tetap terbang menyala-nyala di gelap malam.

Bogor, 15 September 2014


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun