E-mail dari sekretaris Panitia Kongres Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia 2014 yang akan diadakan di Jepang membuat saya terharu dan bangga hari ini. Sejak ditetapkannya Kongres PPI Dunia 2014 akan di adakan di Tokyo dengan PPI Jepang sebagai pelaksana, ternyata para mahasiswa Indonesia yang tergabung di dalam PPI Jepang bergerak sangat cepat untuk mempersiapkan semuanya dengan semangat menyukseskan acara ini. Sampai saat ini belum pernah sekalipun saya mendengar keluhan tentang yang menyangkut biaya, atau keluhan tidak ada waktu untuk mengurus ini semua. Walaupun saya tahu, sibuknya mereka dengan urusan lab, kuliah, seminar dan masih banyak kesibukan yang lain. Iseng-iseng saya mengirim pesan inbox facebook ke beberapa mahasiswa PPI secara acak untuk mengetahui perasaan mereka disaat mempersiapkan acara ini. Alhamdulillah mereka senang-senang saja dan tidak menampakkan kelelahan atau semangat yang kendur.
Sejak terbentuknya kepanitiaan ini di awal tahun ini PPI Jepang di komandoi oleh Ketua PPI Jepang langsung tancap gas untuk memulai suatu kegiatan yang akan mengumpulkan seluruh perwakilan PPI Dunia untuk berbagi ide, berdebat, berdiskusi dan mengeluarkan kesepakatan tentang apa kontribusi mahasiswa Indonesia di Luar Negeri yang diperuntukkan buat kepentingan Dunia. Rasanya notifikasi handphone saya tidak lagi mengenal waktu. Setiap malam di atas jam 22.00 malam Waktu Jepang, ada saja notifikasi yang menandakan bahwa panitia Kongres PPI Dunia ini masih beraktifitas untuk mempersiapkan acara. Terkadang saya tersenyum kalau mengingat bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Jepang sudah terbiasa bekerja di malam hari. Bukankah dulu ada anekdot dan mungkin masih berlaku sekarang, kalau mahasiswa Indonesia yang sekolah di Jepang khususnya yang mengambil bidang Sains dan Teknologi harus datang dan membuka pintu lab sebelum Professor datang serta menutup dan pulang setelah Professor pulang. Jadi bisa dibayangkan kalau Professornya datang jam 7 pagi, si mahasiswa sejatinya datang sebelum jam 7 pagi dan sekiranya Professor pulang jam 22.00 malam, sejatinya si mahasiswa pulang di atas jam 22.00 malam. Ini semua berjalan biasa tanpa keluhan berarti dari para mahasiswa. Mahasiswa Jepang sudah terbiasa dengan kawah candrimuka seperti ini. Mahasiswa asing termasuk mahasiswa Indonesia pun, mau tidak mau harus mengikuti aturan tidak tertulis ini. Aturan tertulisnya tidak ada, tetapi mereka menjalaninya dengan lapang dada karena mereka mau menuntut ilmu ke Professor yang diyakini memiliki ilmu pengetahuan yang lebih luas daripada si mahasiswa. Ada kemungkinan suasana seperti yang ceritakan di atas mengalami reduksi atau perubahan sejalan dengan perubahan jaman, tetapi saya yakin bahwa aroma suasana seperti di atas masih dipegang kuat oleh banyak lab dan Professor di Jepang.
Pada saat saya menjadi mahasiswa di Hiroshima University antara tahun 1990-1997, setiap menjelang musim Semi diadakan Festival Kampus untuk menyambut para mahasiswa baru yang berasal dari seluruh penjuru Jepang. Biasanya acara ini dirangkaikan dengan acara “Obikai” atau reuni di mana para alumni kembali masuk kampus untuk melihat acara festival sambil bernostalgia masa-masa mahasiswa mereka. Ada suatu pembelajaran yang sangat menarik yang sampai saat ini sangat berkesan dan tidak akan saya lupakan sampai saat ini. Pada Festival Kampus itu, selalu saja ada mahasiswa anggota panitia Festival yang menunggui colokan listrik di belakang panggung utama. Mereka tidak berpaling dari tempat itu dari mulai acara di mulai sampai acara selesai. Kalaupun mereka bergerak hanya untuk ke kamar kecil atau makan, itupun pasti ada temannya yang akan menggantikan sementara posisinya. Tahun berikutnya si mahasiswa yang tadinya menjaga colokan listrik digantikan oleh yunior (kohai) nya. Si dia nya sendiri “naik pangkat” untuk mempersiapkan alat-alat band yang akan dipakai oleh para mahasiswa yang akan tampil hari itu. Saya pernah menanyakan ke mahasiswa penjaga colokan listrik ini, apa tidak bosan anda duduk di situ tanpa ada sesuatu hal lain yang bisa dikerjakan. Jawabannya diikuti tanpa ekspresi adalah, saya bertanggung jawab penuh akan satu colokan listrik ini. Saya membayangkan sekiranya tidak ada yang menjaga dengan baik colokan listrik itu dan timbul masalah, maka akan kacaulah keseluruhan acara di Festival itu. Begitu mulia dengan penuh tanggung jawab, pekerjaan yang dilakukan oleh si mahasiswa ini. Berbeda dengan saat di mana banyak orang pada saat mengerjakan selalu diwarnai dengan hitung-hitungan untung rugi atau ingin mengambil kredit dari apa yang dikerjakan, si mahasiswa Jepang ini mengingatkan saya kembali akan arti dari kata kepatuhan dan ketulusan. Si mahasiswa Jepang ini tidak pernah mengharap penghargaan baik dalam bentuk sertifikat atau apapun namanya yang bagi sebagian diantara kita sangat mengharapkan. Harga diri si mahasiswa ini tidak akan turun dengan digesernya dia ke pojok untuk menjaga colokan listrik. Dia merasa bahwa peran dia sama dengan peran temannya yang bercuap-cuap di atas pangung dan terlihat oleh orang banyak orang. Dia tidak pernah mempermasalahkan temannya yang berada di panggung mendapat tepukan tangan dari ratusan orang. Si Mahasiswa Jepang ini tidak kelihatan dan tidak memperlihatkan dirinya hanya untuk sebuah penghargaan atau tepukan tangan. Dia tidak membutuhkan “Award” tetapi dia bangga bisa berkontribusi terhadap suksesnya acara.
Perilaku seperti yang diperlihatkan oleh si mahasiswa Jepang sepertinya merupakan budaya dari orang Jepang. Mereka dalam melakukan sesuatu tidak banyak berpikir berapa keuntungan yang akan diperoleh. Selama suatu hal yang sudah disepakati bersama, mereka akan "mamotteru dan seijutsuna” patuh dan tulus tanpa harus mengeluarkan uneg-uneg yang tidak jelas. Makanya tidak heran, kita akan dengan mudah melihat seorang berjas menyapu halaman di depan kantor atau seorang kepala sekolah memungut sampah di depan sekolah. Mereka tidak mempersoalkan apa jabatannya tetapi apa kontribusi yang bisa diberi kepada organisasi, sekolah atau komunitas mereka. Mungkin juga karena mereka sudah terbiasa dengan kemampuan sendiri, tidak mempunyai pembantu sehingga nomenklatur pembantu yang orang Jepang miliki tidak sama dengan nomenklatur pembantu di Indonesia. Kedudukan orang yang membantu di Jepang sangat terhormat dan tidak dinarasikan dalam sebuah penghargaan. Secara kultural pun ketika kita memerintahkan atau meminta tolong kepada sesorang, mereka tidak pernah mengatakan saya tidak bisa, yang ada Haik atau iya dulu, jadi ada kesan, semua ajakan akan di jawab dengan keinginan untuk melaksanakan pesan. Sekiranya pada saat pesan itu dijalankan ada yang tidak bisa dilakukan dengan sempurna, mereka akan memberi alasan. Walaupun mereka tidak bisa menjalankannya, kemauan untuk mengulanginya sehingga bisa dilaksanakan masih sangat besar. Mungkin ini pula yang menyebabkan budaya “kaizen” atau budaya Continous Quality Improvement mengakar di Jepang. Mereka bisa membuka sekat-sekat dengan melakukan ulangan-ulangan sehingga sesuatu menjadi baik atau sempurna.
Kembali ke mahasiswa Jepang tadi, ada kemungkinan si mahasiswa ini tidak mengenal secara teori apa itu Kaizen, tetapi secara rill telah melaksanakan prinsip-prinsip dari Kaizen itu. Melihat cara kerja panitia PPI Dunia 2014, saya yakin bahwa para mahasiswa Indonesia di Jepang ini telah menyerap salah satu nilai baik yang telah dipertontonkan oleh semesta di sekeliling mereka. Semoga mereka diberi kesehatan untuk melaksanakan hajatan mereka dengan sukses, Amin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H