Di awal tahun 80-an di depan Asrama Polisi (sekarang Hotel Sahid Makassar) ada penjual mie goreng dan cap cay yang terkenal di Makassar. Setelah Bioskop Madya di Jalan Riburane dan Bioskop Artis di Jalan G. Lompobattang selesai pemutaran film terakhirnya, warung ini penuh dengan anak-anak muda Makassar. Kokinya tinggi kurus dan pada saat menmbuat mie goreng memakai pakaian kebesarannya, celana pendek hitam dan kaos singlet cap Riders. Beliau bisa dipanggil dengan Angko, konon keluarganya memanggilnya dengan Angko Ma Liang. Konon kabarnya makanan yang disajikan pasti halal karena di setiap pintu warungnya ada ditempel kaligrafi Al-Quran.
Di selatan kota pada tahun yg sama, para penonton Sepakbola di Stadion Mattoangin paham betul bahwa ada penjual sarabba di samping stadion yg sangat 'legendaris', namanya Iyeiye. Pemilik Iyeiye ini sangat terkenal karena kemampuan 'otak' nya yang mungkin tidak kalah dengan juara-juara olimpiade matematika asuhan Johannes Surya dalam hal kecepatan perkalian.Â
Jawaban-jawaban kita di jawab dengan iye... Iye diakhiri dengan total pembayaran yg harus kita bayar. Saya bisa membayangkan rumitnya perhitungan pada jaman itu karena rupiah terkecil adalah Rp 1, dan dikembalikan tanpa menggunakan kalkulaor, tidak seperti sekarang di mana hasil pembelanjaan di toko atau restoran dibulatkan plus mendapat kembalian permen yang harganya tdk jelas. Warungnya buka 24 jam, selain sarabbanya yg enak pada jaman itu, harga yg murah dan keunikan cara menghitung pemilik warung. Yang lebih menarik adalah adanya kepercayaan antara penjual dan pembeli, konon kabarnya tidak pernah ada yg mau menghitung ulang nilai pembayaran yg telah disebutkan oleh iye... iye...iye.
Pada jaman itu juga di samping Toko Akai (sekarang Makassar Golden Hotel) di Jalan Penghibur ada satu lorong kecil yang di ujung lorong itu ada dermaga kecil untuk angkutan rakyat ke pulau Lae-lae, Samalona, Barrang lompo dan Kepulauan Spermondae. Aktivitas orang-orang pulau pada pagi hari mereka membawa hasil laut dari laut dan pada siang hari bada Dzuhur kembali pulang ke pulau dengam membawa air tawar dan bahan makanan dan perlengkapan yang akan dijual atau dipakai di pulau. Yang saya mau cerita adalah warung makan di dalam lorong kecil itu yg terkenal, namanya Warung Kayu Bangkoa.Â
Almarhum Bapak saya sering membawa saya makan di sana, menunya sederhana, nasi, ikan bakar, sayur santan kacang panjang dan kol serta cobek-cobek kayu bangkoa yang tiada tandingannya. Kesegaran ikannya jangan ditanya karena kapitalisme pada jaman itu belum merasuk ke nelayan. Mereka tidak membom, apalagi memberi formalin. Kalo orang barat mengatakan "This is fresh from the oven" untuk menggambarkan kehangatan makanan yang disajikan, penjual di warung Kayu Bangkoa layak mengatakan, "This is fresh from the ocean".Â
Masih soal makanan, di pagi hari ketika matahari masih malu-malu menunjukkan dirinya, seorang anak muda (sekarang sudah memasuki umur 60-an) di depan Toko Akai dan di depan Warung Kopi Tongsang bersiap-siap membuat adonan untuk membuat kue buroncong, kue yg terbuat dari tepung, gula dan kelapa. Penjual buroncong ini masih setia menjual di depan Tongsang, tetapi jangan harap akan kebagian kalau kita datang membeli di atas jam 9 pagi. Saya kira inilah the best buroncong in town.
Keempat penjual makanan di Makassar ini sebetulnya telah mempertontonkan kepada kita arti sebuah gairah. Mereka tidak pernah dibayar oleh pemerintah kota untuk mempromosikan Sombere City, Smart City, kota beradab dan segudang jargon-jargon lainnya. Mereka bekerja dan menjual ibarat pemain-pemain sepok bola Brazil dan negara-negara Amerika latin lainnya memainkan bola dengan memakai hati, mereka bermain bola bukan bertanding. Gairah inilah yang membawa mereka ke seluruh dunia dan berlanjut terus menerus.
Gairah ini mereka pertunjukkan dengan bermain bola di ujung-ujung jalan dan di mana saja ada ruang kosong. Para 'legendaris' di Makassar ini juga mempunyai spirit yang sama. Kalau kita berkunjung ke tempat-tempat yang saya sebutkan di atas, tidak banyak berubah kecuali Iyeiye! Mungkin karena mereka tidak bermimpi untuk menjadi konglomerat restaurant, mereka hanya mau meracik makanan dengan hati, menjual dengan keikhlasan yang tinggi sudah membuat mereka bersyukur karena telah membuat orang senang.
Saya teringat dengan orang-orang Jepang yang menjual sushi dan sashimi di pasar-pasar pelelangan ikan Tsukiji, Tokyo, pelelangan ikan terbesar di seluruh dunia. Mereka menjual dengan cara berteriak dan membungkukkan badan ketika selesai menghidangkan makanan kepada pelanggannya. Mereka tidak terpengaruh dengan McD, Kentucky dan makanan-makanan cepat saji lainnya. Mereka menjual dengan hati dan keyakinan bahwa jualan mereka bisa menyehatkan badan.
Pikiran dan ingatan saya kembali ke belakang dan mencoba memahami kekinian yang didominasi oleh makanan dan warung-warung cepat saji yang beraneka ragam. Mungkin inilah salah satu cara untuk mengaburkan peradaban dengan memutuskan sejarah dan kebudayaan kuliner kita yang sebetulnya beragam dan sehat. Kita diserbu dengan ratusan jenis makanan dan restaurant berbau Barat. Kedaulatan kuliner kita terkikis atas nama globalisasi. Anak-anak muda sudah tidak mengenal warung-warung makanan 'legendaris' yang ada di Makassar. Walaupun begitu mungkin bijak kalau kita mengenalkan mereka dengan mengajak keluarga menyusuri warung-warung itu sekaligus menceritakan kehebatan warung-warung itu tanpa harus memusuhi warung lain yang melakukan inovasi untuk menarik pelanggan.
Makassar, Juni 2016