Mohon tunggu...
Iqbal Djawad
Iqbal Djawad Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar

Ph.D di Bidang Aquatic Animal Physiology, Hiroshima University

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Model Organik

9 September 2015   09:36 Diperbarui: 9 September 2015   10:10 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu lalu saya mendapat pesan pendek di telpon genggam saya dari seorang karyasiswa Indonesia yang juga sebagai teman diskusi selama di Jepang. Dia mengabarkan bahwa segera akan kembali ke Indonesia karena telah menyelesaikan studi doktoral nya di suatu Universitas ternama di Jepang. Selain itu, di dalam pesan pendeknya juga menanyakan kesediaan saya, sekiranya ada waktu untuk pamitan sebelum ke Indonesia. Saya sengaja menyediakan waktu lebih dari tamu-tamu yang akan berkunjung karena yakin bahwa dia akan menanyakan dan berdiskusi tentang banyak hal. Salah satu yang saya yakin ingin didiskusikan adalah “what`s next” setelah mendapat gelar doktor dan siap pulang ke Indonesia. Pertanyaan ini sering dilayangkan oleh para mahasiswa yang selesai menyelesaikan studi lanjutnya di Jepang. Pertanyaan ini berulang dan jawabannya pun berbeda-beda tergantung keadaan terkini.

 Presentasi mantan wakil Presiden Amerika Serikat, Al-Gore di TED Talk tentang krisis iklim dunia sangat menarik dan membukakan mata bahwa krisis iklim sudah terjadi dan akan berlanjut terus kecuali ada gerakan dan usaha untuk mencegahnya. Buat saya selain krisis iklim ada krisis lain yang mempunyai urgensi yang sama untuk dicermati yaitu krisis sumberdaya manusia. Peter Drucker, seorang ahli manajemen mengatakan bahwa kita sudah memasuki era masyarakat ilmu pengetahuan yang berbasis ilmu pengetahuan, bukan berbasis sumber daya alam dan ekonomi. Bagaimana bentuk krisis sumberdaya manusia?. Jepang yang dulunya sangat kuat dengan orang mudanya pada saat sekarang ini mulai khawatir dengan semakin bertambahnya banyak orang tua yang tidak diimbangi dengan kelahiran bayi yang seimbang sehingga diperkirakan pada tahun 2030 jumlah orang mudanya akan berkurang banyak.

Ada satu hal yang bisa dijadikan pembelajaran dari Jepang yaitu cara mereka mengelola dan mempersiapkan pendidikan buat generasi penerusnya. Kalau kita menengok di pendidikan S3 di Jepang, jumlah orang Jepang yang mengambil program S3 semakin berkurang. Sistem pendidikan Jepang masih seperti dulu walaupun mereka melakukan reformasi pendidikan atau Kaizen (peningkatan kualitas secara berkelanjutan) untuk mengatakan bahwa mereka juga melakukan “revolusi” sistim pendidikan.

 Salah satu tantangan yang paling mendasar dalam pendidikan adalah merawat semangat untuk melakukan inovasi. Inovasi terkadang digambarkan sebagai suatu hal yang sangat sulit karena itu berarti melakukan sesuatu yang untuk sebagian besar orang adalah tidak mudah. Masalah besar melakukan transformasi adalah tirani akal sehat. Hal yang biasa tidak bisa dilakukan harus dilakukan dengan cara lain tanpa melanggar kaidah-kaidah umum yang sudah ditetapkan bersama. Singkat cerita, kita harus memerdekakan diri kita sendiri, sebelum memerdekakan institusi dan membuat bangga negara kita. Arti memerdekakan di sini adalah berani untuk melakukan inovasi dari ide-ide dari tatanan alam biasa dan telah dibentuk menjadi sesuatu hal yang bukan untuk memenuhi keadaan sekarang tetapi mengatasi keadaan keadaan sebelumnya yang masih belum terselesaikan.

Di depan peserta Kongres Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia Bulan Agustus lalu di Singapura, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Anis Baswedan mengatakan bahwa para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri sekiranya nanti kembali ke Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan masalah dengan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan dan dilihat selama belajar di luar negeri, bukan menerapkan karena kondisi dan situasi yang cukup berbeda.

 Salah satu hal yang terkadang membuat kita terpesona dalam pendidikan adalah linearitas, dimana kalau kita sudah mendapatkan gelar tertinggi dalam dunia akademik yaitu Doktor atau Ph.D. Anggapan sementara bahwa kita sudah melakukannya segalanya dengan benar. Pada beberapa kasus kita terobsesi untuk mendapatkan status tertinggi di dalam dunia akademik ini. Sejatinya, tidak semua orang harus menjadi Ph.D, karena ada bakat lain atau capaian lain yang bersimbiosis dengan hasil ekplorasi bakat dan gairah serta ditunjang oleh semesta di mana mereka berada. Ada cerita berbeda yang mempertunjukkan di dalam pendidikan ibaratnya suatu yang organik yang tumbuh dan berkembang tergantung dengan upaya serta carrying capacity dari semesta di mana dia berada. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem pendidikan adalah masalah kesesuaian, di mana sadar atau tidak sadar kita telah membangun sistem pendidikan model makanan cepat saji.

Sebagaimana diketahui bahwa makanan cepat saji semuanya dengan rasa standar. Di sisi yang lain makanan yang tidak standar atau dengan kata lain mereka menyesuaikan dengan keadaan dan rasa lokal. Model pendidikan makanan cepat saji sebetulnya telah memiskinkan roh dan energi kita, layaknya makanan cepat saji yang menguras tubuh fisik kita. Kita ketahui bersama bahwa bakat manusia sangat beragam yang menggambarkan bahwa bakat pun akan berbeda. Selain itu gairah juga sangat menentukan semangat dan energi kita. Hal inilah mungkin yang menyebabkan, begitu banyak orang yang memilih tidak mengikuti pendidikan formal karena tidak memberi energi atau gairah pada roh mereka.

Dari ulasan di atas, wajar kalau Jepang mencoba merevolusi sistem pendidikan mereka model pendidikan manufaktur atau industri yang didasarkan pada linearitas dan konformitas ke model yang lebih didasarkan pada prinsip-prinsip pertanian atau organik. Jepang sangat sadar bahwa manusia berkembang bukanlah melalui proses mekanis tetapi lebih kepada proses organik. Mereka yakin tidak dapat memprediksi hasil dari pembangunan manusia secara instant tetapi menciptakan kondisi di mana mereka akan dan bisa berkembang sesuai gairah masing-masing dengan dukungan semesta. Belajar dari cara mereka mengelola dan menjalankan sistem pendidikan, sejatinya sistem pendidikan kita juga tidak menerapkan kloning system, di mana suatu model yang baik tidaklah serta merta bisa di kloning pada tempat lain. Kesesuaian dan gairah menjadi kata penting untuk menggambarkan bahwa perlunya sebuah gerakan dalam pendidikan di mana orang bisa mengembangkan gairah-gairah dengan kesesuaian dukungan semesta.

Mengenai hal ini tergambarkan dengan baik oleh William Butler Yeats, seorang penyair asal Irlandia abad 20 yang menulis puisi buat Maud Gonne, ibu dari Sean McBridge, salah seorang pemenang nobel perdamaian yang selalu menjadi inspirasi pada saat menulis puisi. Ia menulis puisi pendek, “Aku punya sesuatu yang lain, tapi mungkin tidak untuk Anda."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun