Media sosial di Indonesia benar-benar selalu riuh. Tidak pernah berhenti dari satu topik ke topik lain. Pergantian topiknya begitu cepat manakala ada yang lebih baru lagi. Topik terdahulu menjadi tertutupi, sehingga tidak tahu lagi bagaimana ending ceritanya.
Pada topik-topik lalu, semua media, seperti televisi, internet, media-media sosial, surat kabar nasional, nyaris memberitakan soal LGBT. Terus disusul soal Kalijodo, Saipul Jamil, Grand Syaikh Al-Azhar, Tere Liye, dan yang ter-gress adalah Ahok. Sepertinya di negeri ini akan seperti itu terus. Uniknya, keributan ini tidak berlangsung lama. Pokoknya begitu ada yang baru, topik sebelumnya segera basi. Rhenald Kasali menebak, satu topik biasanya bertahan 2-3 minggu. Keributan ini mirip pilek atau flu, ujar Rhenald, yang biasanya hilang setelah 2-3 minggu (Kompas, 22 Februari 2016).
Keributan ini sebenarnya menandakan betapa dangkalnya kita dalam berpikir. Sedikit-sedikit komentar, sedikit-sedikit setuju/menolak, tanpa ada perenungan dan pertimbangan mendalam. Inilah barangkali sisi negatif zaman internet. Kita menjadi tidak sabaran dalam berucap, berpikir, dan bertindak. Begitu ada satu topik, kita ramai-ramai berkomentar, yang seringkali menimbulkan pro-kontra. Kita mudah terpancing dengan berita-berita yang spektakuler, yang kadang berita tersebut ternyata hoax. Kecele.
Nicholas Carr, penulis The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2011) mengatakan bahwa internet benar-benar mengubah cara berpikir kita.
Dulu, kita mudah tenggelam ke dalam buku atau artikel yang panjang. Pikirannya akan hanyut ke dalam seluk-beluk cerita atau pendapat, dan biasa menghabiskan berjam-jam untuk membolak-balik lembaran prosa. Kini, tidak demikian. Konsentrasinya mulai hilang setelah satu atau dua halaman. Kita mulai gelisah, kehilangan fokus, dan mulai mencari-cari aktivitas lain.
Tak lain semua itu disebabkan Internet, ujar Carr. Internet memang menjadi media serbaguna, saluran bagi sebagian besar informasi yang mengalir melalui mata dan telinga ke pikiran kita. Anugerah tersebut memang benar. Namun ada harga yang harus dibayar. Internet mengikis kemampuan kita berkonsentrasi dan merenung. Saat kita bermain-main internet selama beberapa jam, kita merasa pikiran kita begitu gembira, kita merasa seperti lebih pintar. Perasaan ini begitu memabukkan sehingga bisa membuat kita tak memedulikan dampak kognitif yang lebih dalam dari Internet.
Dikejar “Setan”
Barangkali hidup tergesa-gesa adalah penanda zaman, dimana hampir di semua sektor kehidupan mengalami hal yang sama: zaman tergesa-gesa. Hidup kita seolah-olah diburu oleh waktu. Hidup kemrungsung. Makan dan minum terburu-buru, berkendaraan terburu-buru, bekerja terburu-buru, mencari kenikmatan terburu-buru, beribadah dan berdoa terburu-buru, termasuk mengutarakan komentar di sosial media juga sering terburu-buru. Ah barangkali hanya mati yang tidak seorang pun mau terburu-buru.
Hal di atas sangat ironis dengan kemajuan teknologi yang mestinya membuat kita santai. Pelbagai teknologi, seperti pampers, mesin cuci, kompor gas, smartphone, motor, mobil, email, facebook, twitter, dimana seharusnya fasilitas itu membuat kita mudah menjalani hidup dan menjadi santai, karena akan banyak waktu luang. Tapi kenyataannya, teknologi tersebut membuat kita ingin serba cepat dalam melalukan sesuatu. Kita benar-benar terjerembab ke dalam hidup yang serba terburu-buru, kemrungsung, tidak ada rasa nikmat menikmati waktu luang.
Betapa ketergesa-gesaan seringkali menimbulkan efek negatif. Tergesa-gesa berangkat kerja, kerap kali menimbulkan kecelakaan di jalan raya. Tergesa-gesa memutuskan perkara, kerap kali salah vonis, tergesa-gesa menyikapi masalah rumah tangga, kerap kali timbul perceraian. Termasuk tergesa-gesa ingin meraup keuntungan dalam bisnis, kerap kali terjerumus ke dalam penjara, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Kita bisa belajar dari tragedi Tim Thomas. Ia adalah adalah seorang insinyur pesawat luar angkasa yang sukses. Ia juga memiliki istri yang cantik. Mereka tinggal di rumah di pinggir pantai yang indah. Suatu ketika dalam perjalanan, Tim mengalami kecelakaan fatal. Kecelakaan tersebut merenggut nyawa tujuh orang, salah satunya adalah istrinya. Adapun penyebabnya adalah Tim mengemudi mobilnya dengan cepat sembari menerima telepon. Tak dinyana dia masuk ke jalur arah berlawanan, sedang ada mobil yang mengarah kepadanya.
Kecelakaan akibat kecerobohannya membuat dirinya trauma berkepanjangan. Ia tidak bisa memaafkan dirinya hingga bertahun-tahun. Bayang-bayang wajah istrinya selalu hadir dalam mimpinya. Ia menyesali atas kecelakaan tersebut yang notabene-nya diakibatkan oleh dirinya. Tentu saja ia tidak berniat melakukan kesalahan tersebut.
Ia pun bertekad untuk menebus kesalahannya dengan cara yang tidak pernah saya duga, yakni apabila ia mati, ia akan mendonorkan seluruh organ tubuhnya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Dan ia sudah membuat daftar orang-orang tersebut sebanyak tujuh orang. Kisah Tim Thomas ini terekam dalam film berjudul Seven Pounds yang dibintangi oleh Will Smith.