[caption caption="ilustrasi proses menerjemahkan. Sumber: mhq.com"][/caption]Suatu ketika saat lari pagi, dengan mengelilingi lapangan sepakbola, di putaran ketiga saya terpikir dengan esai yang berjudul “Infrastruktur Buku Setelah Buschmesse”, ditulis oleh Muhidin M. Dahlan. Muhidin (yang akrab dipanggil Gus Muh) menceritakan peristiwa The Frankfurt Book Fair (TFBF) 2015, di mana Indonesia menjadi tamu kehormatannya. Kata Gus Muh, inti utama TFBF sebenarnya ajang jual beli hak cipta penerjemahan buku. “Tiga hari pertama masyarakat umum tak dibolehkan masuk, kecuali para pelaku industri buku untuk transaksi hak cipta penerjemahan,” ujarnya.
Indonesia sendiri sebelum TFBF dihelat sudah mencanangkan untuk menerjemahkan 200 buku ke dalam bahasa Jerman. Nahasnya, stok penerjemah begitu minim. Saya tidak tahu angka 200 itu tercapai atau tidak. Proyek pemerintah menerjemahkan buku-buku dari penulis Indonesia untuk acara TFBF tentu patut dipuji. Tapi patut disayangkan kalau kemudian proyek tersebut berhenti seiring berhentinya TFBF.
Gus Muh pun menunggu adakah follow-up dari pemerintah setelah acara TFBF ini untuk membangun dan menata ulang Infrastruktur Penerjemahan Buku? “Bukan hanya agar buku-buku kita tetap berada dalam level sebagai warga dunia, namun juga buku-buku literatur dunia menjadi benda sehari-hari dalam perpustakaan masyarakat kita,” ujarnya.
Pemerintah sebagai fasilitator penerjemahan saya kira sesuatu yang sangat ideal. Proses terjemahan secar massal akan terjadi, sehingga perbukuan kita menggeliat secara signifikan. Lantas, mekanismenya seperti apa agar penerjemahan ini bisa berjalan, baik secara langsung maupun tidak? Soal ini kita bisa belajar pada bangsa Jepang yang terbukti efektif menyemarakkan dunia terjemahan di negaranya.
Berkaca pada Jepang
Di Jepang, pemerintahnya langsung turun tangan untuk membuat kebijakan perihal penerjemahan buku. Pemerintah memfasilitasi kegiatan penerjemahan agar bisa berlangsung efektif. Salah satu programnya adalah para mahasiswa Jepang yang mendapatkan beasiswa di luar negeri hukumnya wajib menerjemahkan buku. Minimal dua judul dalam satu semester. Karena wajib, mau tidak mau mereka pun menerjemah.
Uniknya, mereka tidak menjadikan hal itu sebagai beban, tapi sebaliknya, mereka begitu menikmati aktivitas ini. Tak jarang dalam satu semester mereka bisa menerjemah lebih dari dua buku. Antusiasme ini terjadi, lantaran kecintaan mereka terhadap buku, termasuk di dalamnya suka membaca dan mengoleksi buku. Bagi mereka, menerjemah berarti juga menyerap sumber ilmu pengetahuan dari pemikiran-pemikiran orang di luar Jepang.
Bisa kita bayangkan, jika ada lima ratus mahasiswa penerima beasiswa saja, maka bisa dihitung berapa ratus ribu judul buku yang bisa diterjemahkan dalam setahun. Kemudian, kita kalikan lima tahun. Angka lima ratus saya kira masih terlalu minim. Jumlah sebenarnya pasti lebih dari itu. Begitu juga angka lima tahun.
Saya kira, hal ini patut ditiru oleh pemerintah kita, karena sangat logis untuk diterapkan. Saya membayangkan, para mahasiswa Indonesia yang menerima beasiswa akan berlomba-lomba menerjemahkan pelbagai buku. Mahasiswa yang di Timur Tengah dan Mesir akan menerjemah buku-buku berbahasa Arab, dan dari Eropa akan menerjemah buku-buku Bahasa Inggris bahkan bahasa lain, seperti Jerman dan Prancis.
Tentu ini baru satu strategi saja, karena masih banyak strategi lainnya yang bisa kita lakukan. Misalnya di kampus-kampus yang ada jurusan bahasa, bisa juga diwajibkan untuk menerjemahkan sebuah buku, sebagai tugas wajib mata kuliah atau bahkan sebagai pengganti skripsi. Agar tidak kecurangan, tentu harus dibuat aturan mainnya seefektif mungkin. Saya sendiri pada waktu kuliah dulu pernah menerjemah sebuah buku bahasa Arab sebagai tugas mata kuliah di mana kemudian hasil terjemahannya saya kirim ke penerbit dan—alhamdulillah—diterbitkan.
Selain itu, hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita adalah memberi order kepada para penerjemah profesional, seperti halnya yang dilakukan para penerbit. Tentu hal ini sangat lumrah. Bukankah cara seperti ini juga yang dilakukan pemerintah pada saat kita hendak ke TFBF sebagai tamu kehormatan?