Mohon tunggu...
iqbal muhammad
iqbal muhammad Mohon Tunggu... -

aku hanyalah seorang pengelana..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kemanakah Sang Nurani

5 November 2014   06:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:36 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebaris bait haru dari pelosok negeriku.Rangkaian aksara hati yang tersimpan rapi di balik nurani.Senandung pesannya tersirat dari tetesan peluh,tapak kaki yang telah melepuh,dan tatap lugu yang membuat luluh.Diamnya yang tak mampu mengadu,tiap hasratnya yang berseru,masih apik terbungkus rasa malu.Senandungnya lirih pada hening,menetes pada telaga yang bening dan merutuk pada terik yang tak jua bergeming.

Pada jarum waktu yang berputar tiada lelah,netranya yang sering membasah,terkadang menatap dengan penuh amarah.Namun dia sendiri tak mengerti,karena terlalu lemah terasa untuk berdiri.Di sepanjang jalan yang di jumpai hanyalah sepi,tersapa pekatnya sunyi,membuatnya berhenti,karena tak ingin sesat menyusuri jalan yang tak bertepi.
Kisah sukanya hanyalah hadir pada pagi,saat menatap senyum malu mentari. Dengan segelas kopi hitam disisi, yang kadang pahitnya merontokkan sanubari,karena gula pun semakin jauh untuk terbeli.Malamnya hanya berhias gulita,suluh pun tiada,karena minyak tanah yang semakin langka.Dibelainya jiwanya,menatap kelam angkasa,tapi bukan tatapnya hampa.Dia merayu jiwanya dengan kerlip bintang,untuk menidurkan raganya yang hampir usang,yang di amuk oleh cacing perutnya yang sedari tadi mengerang.Tak terdengar dia mengadu pada langit,karena senyum setitik asa untuk pagi masih menggamit,dan untuk nafas esok dia harus bangkit.Bisiknya terdengar pada sujud malam dengan doanya yang berbaris,tak ada airmata yang tertiris,hanya aku saja yang mulai menangis.

Tapi aku seakan di lelapkan oleh diam,turut pasrah menanti terang menjabat kelam,dan swarakupun hhanya singgah pada barisan rambutnya yang tak lagi hitam.
Dan aku hanya bisa bertanya pada alam,pada hembus bayu yang bermalam,dan pada pemilik tahta negeriku yang berdiam.Masihkah ada sang nurani,apakah dia telah enggan mendiami bumi,ataukah sengaja di penjara di balik nafsu birahi?Hentikanlah celoteh titah di balik tahtamu yang hanya mampu turut bersedih,menonton mereka tertatih,karena hanya akan membuat tangis mereka semakin lirih.

Akankah kau biarkan airmata mereka berkumpul menjadi bah,berbaur dengan doa doa malaikat yang hembuskkan amarah,dan meluluhlantakkan setiap senyum negeriku yang megah?
Tak inginkah sekejap ulurkan tangan,berjalanlah kepadanya atas nama Tuhan,bukankah Dia telah mengajarkan kasih pada ayat ayatNya yang terfirman? Jika tidak biarkan rasaku bicara,padamu aku akan tetap berkata hingga serak menyapa.Biarlah ku teriak pada siang yang berhias surya,atau pada malam yang berintim gulita,dan pada senyum kalian di balik megahnya singgasana.Dekaplah jiwa jiwa yang penuh tangis,karena hadir mereka hanya mengikuti kehendak takdir yang tergaris,sebelum Sang Pemberi Takdir menegur kita dengar caraNya yang di beritakan pada kitabNya yang tertulis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun