Di sebuah grup whatsapp kampus yang kerap menjadi pusat perghibahan duniawi, teman saya tiba-tiba menanyakan perihal kelebihan dan kekurangan dirinya. Saya kurang tahu ia kerasukan mahluk macam apa, tapi pertanyaan itu cukup mebuat saya sebagai salah satu penduduk dari grup tersebut bingung mau menjawab. Alasannya sederhana, saya paling ngga bisa menilai orang lain dan saya pun ngga terlalu dekat dengan orang tersebut. Pada kondisi seperti inilah saya cuma bisa bilang “kamu orangnya baik kok, rajin menabung, dan suka menolong” persis seperti quotes pada sampul buku jaman saya SD. Nada serupa juga keluar dari teman saya yang lain, dirinya sama saja tidak bisa menilai, sebab selama ini pertemanan kami di dalam grup itu hanyalah pertemanan virtual. Pernyataan itulah yang kemudian membuat saya agak gusar tapi di sisi lain ada benarnya juga.
Perlu diketahui, grup kami ini adalah grup proyek kuliah yang menjelma menjadi grup ghibah setelah proyek tersebut usai. Selama proses pengerjaan proyek pun semuanya dilakukan secara online, dan tercatat hanya sekali kami bertemu secara lagsung. Kondisi di grup sebenarnya biasa saja, kadang bercanda, kadang serius, kadang menghayal, kadang menggosip, kadang garing juga, tapi hal itulah yang kemudian membuat kami merasa nyaman dan akrab. Padahal sebenernya kami tidak terlalu dekat, nyatanya untuk urusan yang lebih baik dilakukan secara personal chat, kami lebih suka memilih dilakukan di grup saja guna mengindari kecanggungan saat chatingan. Kita kadang kala suka merasa dekat dan akrab hanya karena lawan bicara kita menuliskan wkwkwkwkwkwkw dengan panjang plus capslock ,atau hanya karena tingginya intensitas transaksi stiker lucu. Percayalah, bahwa hal tersebut biar keliatan sopan aja ,dan sebagai bentuk pemenuhan norma sosial, ngga ada atensi lain !!!!
Sebelum pandemi dan sebelum perkuliahan dilakukan secara daring, model pertemanan seseorang – khususnya di kampus ya – biasanya dimulai dengan dapet tugas kelompok, main ke kos, nugas bareng (lebih ke copas sih), nongkrong bareng, sampai akhirnya keterusan bareng. Setelah pandemi dan perkulian dilakukan secara daring, model pertemanan seseorang dimulai dengan bikin grup tugas bareng, nge zoom bareng, nge pc nanyain tugas – tapi sungkan buat minta karena ngga terlalu kenal – akhirnya nunggu ada yang berbaik hati dan mau nge share di grup, lalu tugas selesai, grup bubar, dan pertemanan usai. Memang ketika kuliah dilakukan tatap muka, banyak juga pertemanan yang berakhir ketika kelompok tugas bubar, tapi saya rasa tak sebanyak ketika kuliah dilakukan secara online. Hal itu cukup menjadi bukti jika pertemanan yang dilakukan secara online sifatnya memang tidak menjamin. Sesering-seringnya kalian diajak atau mengajak meet up teman online kalian, sepertinya ajakan itu juga hanya basa-basi. Kalian akan lebih senang ngemil sambil rebahan nonton film, ketimbang keluar buat ketemu sama orang yang ngga cukup kalian kenal dan nantinya bingung mau ngomong apa pas ketemu. Jangan sampai di whatsapp ngobrolin kurs dollar bikini bottom, giliran ketemu langsung cuman anu, anu, anuu, anuuuuu, hadeeeeeeh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H