Mohon tunggu...
Iqbal Perdana
Iqbal Perdana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat kopi~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kelap-kelip Koetaradja

1 Januari 2012   14:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:29 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana perayaan pergantian tahun di Jembatan Pante Pirak Banda Aceh, Minggu (1/1) dinihari | Acehkita.com Doc

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Suasana perayaan pergantian tahun di Jembatan Pante Pirak Banda Aceh, Minggu (1/1) dinihari | Acehkita.com Doc"][/caption] Menerangi gelap langit malam itu, kelap-kelip bak bintang kejora. Aku berdiri terkagum-kagum melihat bunga api menari-nari tepat di depan bola mataku, sungguh indah, ia melihat ku sekejab dan hilang. Pesta kembang api, mereka menyebutnya begitu, beranjak 60 menit terakhir tahun 2011, bunga-bunga api itu seperti menjelajah langit koetaradja, bergeliat kesana kemari seperti cacing kepanasan, entah apa yang dicari, entah apa yang dituju, tidak lebih dari lima menit retina mata ku tidak lagi menerima ragam warna cahaya bunga api itu.

Jutaan pasang mata membanjiri jembatan kokoh selebar 10 Meter, berdiri-diri di pelantaran toko-toko dan pulau-pulau jalan kota, bersama sanak-saudara juga pasangan kekasih, dilengkapi dengan alat pengabadian masa, terompet berkepala naga dan gelak tawa yang mustahil usai. Seperti telah dijanjikan, tak ada yang terlupakan, terelakkan, semua memegang peran penting dalam lembar akhir 2011, menyelesaikan proyek 366 hari.

Detik-detik terakhir, meski jarum panjang antara ia dan aku tak sama, itu bukanlah masalah. Setiap jarum yang melekat di lengan manusia saat itu dikomandoi oleh bunga kembang api terbesar. Duarr, meluncur secepat kilat dari wadah panjang berdiameter 10 Senti, melejit berlomba-lomba membelah dingin malam saat itu, duarr, ledakan itu merupakan awal tahun baru, ia seperti melepaskan janji dan harapan ditahun baru, warna putih keemasan, menyebar sangat luas memeluk rembulan menerangi senyum manja manusia-manusia. Ia mewakili segala rasa, asa, cinta, juga cita.

Sejuk-sejuk malam itu, senyum lebar menjerat virus dingin malam. Aman, meski tidak menggunakan sandang tebal-tebal. Tertawa, bersuka-suka, serasa tak ingin pulang, Walau aku tak mengenal dia, bahkan ini kali pertama aku berjumpa, paduan senyum ku dan mereka senada, seperti melantunkan sebuah tembang lagu, sangat romantis, damai malam itu.

Lembar 2011 telah habis, ku simpan ia di tempat yang sukar ditemukan, bahkan tidak mungkin ku ambil lagi, cukup kukenang saja, juga menjadi buku acuan memperbaiki diri ditahun-tahun mendatang. Segala cita yang belum terbit dalam hidup ku tahun lalu, harus ku terbitkan di tahun ini, aku takut terlalu banyak cita yang menumpuk akan menjelma sebatas angan, seperti bintang yang hanya dapat kupandangi mustahil kugenggam.

Teringat, tinta yang telah mencoret-coret lembar tahunku sebelumnya akan habis, namun kapan dan dimana. Apa yang membuat aku layak untuk tetap hidup, apakah karna terlalu banyak dosa, sehingga Allah masih mengizinkan aku hidup tuk cepat-cepat bertobat, atau aku masih berguna bagi sesama, namun berguna dalam hal apa, tak jarang aku menyusahkan orang tua ku, sepeti preman, tiap awal bulan rekening tabunganku harus sudah terisi, tak jarang pula sahabat-sahabatku ku buat kecewa, ada apa dengan hidupku, 19 tahun melanglang buana mencari arti hidup. Redup-redup hati ku ketika mengingat sejumput masalah itu.

Pesta telah usai, gemuruh kendaraan kembali menjadi music latar sesi akhir dalam pesta. Ku kendarai mesin bermotor itu. Di belakang, penumpangku masih sangat lihai mencuri gambar bagus untuk mengabadikan pesta ini. Sekali-kali ia menggunakan blitz untuk penerangan objek yang akan di shot, kendaraan ku seperti langit mendung, mengeluarkan sinar kilat menyilaukan mata, namun aku tidak memiliki suara gemuruh petir, hanya gelak tawa yang menjadi pelengkap miniatur awan mendung itu.

Senyum lebar pembasmi virus dingin sudah mulai hilang wujudnya. Aku kembali merasakan dinginnya malam, menusuk-nusuk ke tulangku, tak tahan ingin cepat sampai ke tempat peristirahatan. Sampai, tubuh segera ku lipat agar dingin tak bisa masuk, sebelum kututup mata, sekali ku tolehkan mata melihat tanggal hari ini, 1/1/2012, aku istirahat, di hari pertama, lembar pertama, tinta pertama, ku tulis, istirahat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun