Iman Sugema dan M. Iqbal Irfany
Suatu ketika Bilal ra menghadap Rosulullah saw sambil membawa kurma. Rosulullah kemudian bertanya dari mana kurma itu didapatkan, tumben lebih enak dari biasanya. Kemudian Bilal menjelaskan bahwa kurma miliknya yang berkualitas rendah ditukar secara barter dengan yang berkualitas baik, dan sesuai dengan harga di pasar pertukarannya adalah 2 banding 1. Rosulullah menyahut bahwa itulah yang disebut riba dan menyarankan agar Bilal menjual lebih dahulu kurma miliknya secara tunai, kemudian uang hasil penjualan itu dibelikan kurma yang diinginkannya.  Sebagai alternatif, pertukarannya adalah 1 banding 1 tanpa membedakan mana yang berkualitas lebih tinggi atau lebih rendah.
Dalam khasanah fiqih, itulah yang disebut dengan riba fadl yaitu riba yang timbul akibat transaksi barang sejenis tetapi berbeda kualitas.  Riba itu sendiri berarti ‘tambahan’ yang dalam kasus ini adalah tambahan yang diperoleh akibat perbedaan kualitas. Sulit untuk bisa menangkap logika mengapa transaksi tersebut bisa dikategorikan sebagai riba kalau kita tidak menggunakan teori ekonomi. Ada empat hikmah ekonomi dari peristiwa tersebut. Dikatakan hikmah karena memang kita tidak sedang membicarakan aspek syar’i-nya.
Pertama,  dalam situasi dimana uang sudah menjadi alat pembayaran (medium of transaction) maka menjadi tidak efisien untuk mengandalkan transaksi secara barter.  Barter hanya bisa terjadi kalau dua pihak memiliki barang yang saling dibutuhkan oleh masing-masing pihak secara berlawanan dalam jumlah dan spesifikasi yang sesuai. Mencari lawan barter tidaklah semudah kalau kita menggunakan uang. Dengan uang, apapun bisa dibeli sesuai dengan kebutuhan dan harga yang berlaku. Ketika Rosulullah menetapkan barter 1 banding 1 untuk barang yang berbeda kualitas, maka tidak ada seorangpun yang secara rasional akan melakukannya. Karena itu himbauan beliau memiliki makna agar barter tidak lagi dilakukan.
Kedua, transaksi yang dilakukan Bilal bisa dikategorikan sebagai transaksi di luar pasar atau off the market. Dari kacamata sosial transaksi semacam ini tidak dapat dijamin aspek fairness-nya. Bisa jadi kedua belah pihak yang terlibat transaksi merasa bahwa transaksi tersebut adalah fair dan adil. Tetapi dalam konteks sosial, yang menilai keadilan dan fairness bukanlah individu tetapi masyarakat. Artinya nilai dan indikator keadilan dan fairness harus secara jelas terobservasi dan dapat diterima oleh masyarakat sekelilingnya.
Barter merupakan transaksi yang tertutup dengan ukuran keadilan dan fairness yang disepakati oleh para pihak yang bertransaksi. Sebaliknya, transaksi di pasar merupakan transaksi terbuka dimana harga dan takaran tidak ditentukan oleh individu tetapi oleh mekanisme pasar. Harga yang terjadi di pasar sudah pasti secara sosial dapat diterima oleh masyarakat kecuali terjadi persaingan yang tidak sehat. Karena itu, saran Rosulullah untuk bertransaksi di pasar secara tunai memiliki hikmah bahwa jual beli tidak hanya memiliki dimensi sukarela antara penjual dan pembeli, tetapi juga harus dipandang sebagai sesuatu yang dapat diterima secara sosial.
Dalam kehidupan modern terutama di pasar finansial, keterbukaan dalam bertransaksi merupakan salah satu syarat terciptanya persaingan yang sehat. Menetapkan harga secara kongkalikong di luar mekanisme pasar merupakan praktek yang dapat merugikan orang lain, dan karenanya dilarang oleh otoritas manapun. Dalam contoh, riba fadl di atas, bisa jadi untuk kasus Bilal tidak melibatkan kongkalikong. Tapi siapa yang bisa jamin kalau orang di luar para sahabat yang melakukannya?
Ketiga, kalau barter seperti di atas dilakukan oleh banyak pihak atau oleh para pemain besar maka besar kemungkinan harga keseimbangan di pasar dapat terganggu. Pada saat kurma yang berkualitas rendah sangat dibutuhkan oleh masyarakat misalnya, berkurangnya pasokan dapat mengganggu harga yang sewajarnya. Harga dapat melambung secara tidak wajar. Karena itu menjadi lebih adil buat masyarakat secara keseluruhan bila semua barang ditransaksikan secara terbuka di pasar karena semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk membelinya. Dengan demikian, transaksi off the market bisa saja dalam kasus tertentu memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada segelitir orang. Barangkali itu hikmah riba fadl. Wallahu alam.
Keempat, dan ini yang sering didiskusikan dalam berbagai kitab empat mazhab, yaitu adanya kemiripan antara riba fadl dengan riba nasi’a. Mungkin pada waktu itu ada kekhawatiran kalau barter semacam itu dapat dijadikan ‘kendaraan’ untuk melegalkan riba nasi’a. Bisa jadi ‘margin’ dalam barter dipakai untuk menyembunyikan riba nasi’a yang timbul dalam kontrak utang-piutang. Kurang tegasnya definisi dapat mengakibatkan kerancuan hukum. Dan itu bisa timbul akibat terlalu banyaknya unsur kemiripan.
Berbicara masalah kemiripan, akhir-akhir ini semakin banyak jenis transaksi di bank syariah yang dibuat mirip dengan bank konvensional. Karena itu wajar, para nasabah kemudian sering bertanya-tanya sebetulnya apa sih bedanya bank syariah. Agar pertanyaan tersebut lebih mudah dijawab oleh karyawan front liner di bank syariah manapun, sebaiknya produk bank syariah didisain secara diametral berbeda. Kerancuan pemahaman bisa timbul gara-gara kemiripan kemasan saja walaupun isinya beda. Tapi menerangkan isi terkadang jauh lebih sulit.
Belajar dari kasus Bilal tersebut, tampaknya perbankan syariah di Indonesia harus lebih berhati-hati dalam mendefinisikan produknya. Kalau terlalu mirip dengan bank konvensional, jangan salahkan masyarakat kalau mereka tidak kunjung mau hijrah ke syariah.