Mohon tunggu...
Stefanus Jiman
Stefanus Jiman Mohon Tunggu... -

I was a student at one college in salatiga. Hobby gardening, writing, reading and culinary tours. I have a vision of change for the better. Because I believe God created me to be a winner in this world.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Permata di balik "Karung Lusuh" si Dudung

23 Mei 2012   06:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:56 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permata dibalik “Karung Lusuh” si Dudung.

Setetes embun bergelayut di ujung daun ilalang. Susana pagi itu begitu segar, rerumputan di halaman rumah masih tampak basah dan berkilau akibat embun pagi yang diterpa hangatnya mentari. Sayup-sayup terdengar ocehan burung beo dari belakang rumah. Gemericik suara air dari kolam belakang rumah menambah pesona pagi itu. Papa siap-siap hendak pergi ke kantor, Mama sibuk menata berkas-berkasnya yang akan dibawa ke sekolah, Bibi sibuk menyiapkan sarapan bagi kami. Akus sendiri asyik membaca surat kabar sambil sesekali mendendangkan lagu kesukaanku.

Waktu mennjukkan pukul 09.00 pagi, rumah nampak sepi tinggal aki dan bibi. Sementara aku bersiap-siap hendak pergi ke kampus. Aku memanaskan mesin motor Supraku, aku melayangkan pandanganku ke jalan raya di depan rumah. Dari kejauhan aku melihat sosok anak kecil yang menenteng karung lusuhnya, pakaiannya compang-camping, topi kumalnya bersarang di kepalanya, ia menyusuri jalan tanpa alas kaki. Sosok itu tidak asing bagiku, it si Dudung pemulung yang tinggal di bataran kali Pepe. Aku sering melihatnya di jalan, pasar maupun di tempat yang habis dipakai untuk acara umum.

Tanpa kusadari si Dudung sudah menghilang dari pandanganku, nggak tahu entah ke mana dia pergi. Aku msih nangkring di motor Supraku, pagi itu rasanya aku malas sekali untuk melakukan aktifitas. Aku beranjak kedalam rumah untuk berganti pakaian, ketika aku sibuk memilih pakaian yang akan kupakai aku terkejut oleh teriakan bibi dari belakang. “tolooooooong….tolooooong…..ada maling………!” spontan aku lari ke belakang menghampiri bibi yang masih ngos-ngosan.

Dengan nafas terengah-engah dan suara terputus-putus hendak mengatakan sesuatu kepadaku: “he…..he…..he….lmnya de…..……deeee………..dennnnnnnnnnnn.” Aku mencoba menenangkan bibi: ono opo to bi……………………………..?” Bibi masih belum tenang akhirnya aku mengambil segelas air putih dan menyerahkannya kepada bibi. Beberapa menit kemudian bibi sudah tenang dan dapat bebicara dengan jelas. “Anu……………….. den!, sandal nyonya…………………………..”ono opo karo sandal nyonya bi……………………? Sandal nyonya dijupuk pemulung den……………….

Mendengar jawaban bibi aku tertawa geli. Lhah…… Cuma sandal saja kog segitunya to bi??? Waduh kog malah cengengesan to den? Iku barangee nyonya. Nanti nek aku dimarahi piye? Bibi tampak panik. Santai saja bi! nggak bakal dimarahi karo mama………………… wes to percoyo karo aku………….. Aku meninggalkan bibi di dapur. Waduh wis awan iki………………… wah bakal telat aku. Dengan sepat aku ganti pakaian dan memancal sepeda motor ku.

Di tengah perjalanan aku melihat si Dudung belum sempat aku menghentikan motorku si Dudung sudah lari tunggang-langgang padahal aku tidak akan marah kepadanya. Aku hanya bermaksud meminta sandal tersebut dan mnggantinya dengan uang. Nampaknya bocah itu malah ketakutan. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan bocah itu. Aku jadi penasaran dengan bocah itu, tanpa pikir panjang aku berusaha mencarianak itu. Terpaksa kuurungkan niatku pergi kuliah,tidak jauh dari situ aku mendapati bocah itu sedah berpetualang di bak sampah dipinggir jalan.

Aku berhenti dan menghampiri bocah itu, tanpa sepengetahuan dia aku menyapanya. Hallo Dudung! dia kaget bukan main, ia tidak menjawab sapaanku tapi malah ketakutan mau kabur dariku. Jangan takut………………..! aku tidak mengapa-ngapakan kamu kog. Ia langsung mengambil sesuatu dari karungnya dan menyerahkan sandal mama kepadaku. Kepalanya tertunduk, dari mulut mungilnya keluar suara “ampun mas! Dudung terpaksa melakukan ini”. Aku jadi kasihan dengan anak itu, kemudian kurai sandal itu dari tangan dekilnya.

Rasa iba dari dalam hatiku tidak dapat kubendung, Dung boleh tidak kalo aku main ke rumahmu? Ia nampak malu dan bingung mau bilang apa? Dia bilang rumahku jelek dan kotor mas. Gak apa-apa sama saja kog, rumahku juga jelek, boleh ya! Demikian pintaku. Dia bialang: iya mas tapi, nanti kalo aku sudah selesai mulung ya! Aku kegirangan dalam hati aku mau bersorak-sorak.

Kira-kira jam 14.00 pencarian si Dudung sudah selesai. Ia memasukkan penghasilannya hari ini ke dalam karungnya. Sebenarnya aku ingin membantunya, namun rasa jijik dan kesombonganku mengalahkan keinginanku. Aku hanya menjadi penonton, ternyata karung lusuhnya sudah penuh. Sambil menaikkan karung besarnya ke punggungnya si Dudung berkata: “saya sudah selesai mas, tapi tidak langsung ke gubuk saya melainkan saya akan menjual barang saya dulu.” Aku hanya mengangguk tanda setuju. Aku mengikutinya dari belakang, sampai akhirnya kita tiba di sebuah bagunan besar beratapkan seng. Di sana tampak beberapa orang sedang memilih-milih barang-barang rongsokan. Ada kaleng-kaleng, gelas plastik bekas minuman, kardus dan banyak lagi. Seseorang mengampiri si Dudung dan menimbang barangnya. Kemudian orang itu menyerahkan beberapa lembar uang kepada si Dudung.

Tanpa sepatah kata pun si Dudung langsung ngeloyor meninggalkan orang tempat itu sementara aku mengikutinya dari belakang. Kasihan itulah yang kurasakan, aku ingin memboncengkan bocah itu di motorku tapi aku nggak kuat dengan baunya. Si Dudung mampir ke sebuah toko kelontong di bawah pohon asam di seberang jalan. Tampak ia menyerahkan uang kepada penjaga took dan ia juga menerima satu kantong plastik besar, entah isinya apa aku tidak tahu.

Suasana sore itu sangat panas, keringat bercucuran di wajahku. Nampaknya si Dudung kelelahan, ia menyeka keningnya dengan lengan kecilnya yang dekil. Kita tiba di sebuah gubuk dari kardus. Gubuk itu sangat kecil, aku tidak bisa membayangkan bagaimana keluarga pemulung itu beraktifitas didalamnya. Si Dudung mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya: “silahkan masuk mas!” aku langsung masuk begitu saja. Aku melihat ada dua gadis kecil yang merasa kikuk melihat aku masuk ke dalam rumahnya. Aku mendengar suara rintihan yang menyayat hati, itu siapa Dung? Oh, itu ibuku mas. Sudah dua minngu ini dia sakit, saya tidak tahu sakit apa? Sudah saya beri ultrafu dan puder 38 tapi tak kunjung sembuh mas. Aku hanya manggut-manggut tanda mengerti.

Kedua gadis kecil itu masih berdiri mematung di hadapanku, mungkin mereka heran dengan keberadaanku di rumahnya. Si Dudung mengeluarkan isi karungnya, ia membuka sebuah kantong plastik dan mengambil sesuatu dari dalam dan menyerahkan barang itu kepada ibunya. Ibunya terbaring lemah di lantai dengan beralaskan tikar tua yang sudah rapuh. “Bu minum obat dulu!” pintanya. Ia berusaha membantu ibunya bangun dari pembaringan.

Setelah selesai melayani ibunya, ia mengeluarkan 2 buah roti dari dalam karungnya dan menyerahkan kepada ke dua gadis kecil itu. Kedua gadis kecil itu menyambutnya dengan penuh sukacita. Sinar matanya menampakkan kebahagiaan yang tiada tara bagai menemukan permata. Ia juga memberikan sebuah riti kepada ibunya. Di genggamannya masih tersisa sebuah roti, tanpa terduga-duga Dudung membagi roti itu menjadi dua. Sebagian dia serahkan kepadaku, dengan halus aku menolaknya. Air mata haru membasahi pipiku. Tindakan si Dudungsangat terpuji, di balik kondisinya yang serba kekurangan ia masih peduli dengan orang lain. Ia tidak hanya memikirkan dirinya dan keluarganya saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun