[caption id="attachment_95221" align="aligncenter" width="680" caption="Pengusung Uma Lige"][/caption]
Kota dan Kabupaten Bima di Pulau Sumbawa adalah teritori Propinsi Nusa Tenggara Barat. Berbeda dengan kerabatanya, Pulau Lombok, Sumbawa tidak atau (semoga) belum begitu populer di kalangan pelancong baik nusantara maupun mancanegara. Yang cukup dikenal selama ini hanyalah Pulau Moyo, Gunung Tambora, dan surfing site Lakey. Dari tiga nama yang saya sebutkan, hanya Gunung Tambora yang berada di bawah administrasi Kabupaten Bima. Namun fakta administratif ini menjadi bias karena letak geografis Tambora yang lebih dekat dengan Dompu. Di luar obyek wisata alam, wisata budaya belum menjadi primadona jualan pemerintah daerah di wilayah Sumbawa. Tak pelak, hampir tidak pernah kita dengar ekspos tentang budaya Pulau Sumbawa, Bima pada khususnya. Sedikit ekspos itu akan saya share di sini.
Upacara adat ini mulai dilaksanakan saat masa pemerintahan sultan Bima yang kedua yaitu Sultan Abdul Khair. Oleh para penasihat religi beliau yang berasal dari Minang Melayu, beliau dianggap kurang mencintai Agama Islam sehingga terus dilakukan pencerahan oleh para ulama penasihatnya. Sang sultan kemudian tercerahkan dan menghelat upacara adat bersendi Islam sebagai bentuk kecintaannya.
Yang paling terlihat dalam acara Hanta Ua Pua adalah tentang masuknya Islam ke lingkungan monarki Bima. Ulama Melayu yang berasal dari Minang dan Bugis membawa Al Quran dalam sebuah rumah kayu yang diangkat oleh banyak orang. Prosesi inilah yang kemudian terus diulangi setiap pelaksanaan Hanta Ua Pua. Ulama Melayu (atau keturunannya) didampingi 4 pria dan 4 wanita muda. Pria muda tersebut adalah penari Lengge Melayu sedangkan yang wanita adalah penari Lengge Mbojo. Dalam rumah kayu yang berbentuk persegi 4 x 4 m2 tersebut sirih puan yaitu satu rumpun bunga terlur yang berwarna-warni dan dimaskukkan dalam wadah segi empat. Satu rumpun tersebut berisi 99 tangkai bunga telur. Di tengah-tengah wadah tersebut diletakkanlah Al Quran sebagai simbol penyebaran Islam di Bima. Rumah kayu itu sendiri bernama Uma Liege (Mahligai) dan nama sirih puan menjadi akar kata bagi ua pua.
Arak-arakan Uma Lige dimulai dari kawasan Kampung Melayu dekat pesisir Teluk Bima. Tempat ini dulunya dalah tempat tinggal para ulama Melayu yang dipercaya masuk lewat perairan Teluk Bima. Arak-arakan dimulai pukul setengah delapan pagi dengan diawali oleh prajurit berkuda dan pasukan infantri (pasukan jalan kaki) bersenjatakan tombak. Perjalanan Uma Lige yang diangkat oleh 44 orang pria dewasa diiringi musik berbau Melayu dengan perkusi sederhana menyerupai gendang dan peniup sejenis seruling. Dari Kampung Melayu, arak-arakan Uma Lige bergerak menuju arah Istana Kesultanan. Yang cukup mengherankan dari arak-arakan ini adalah tidak banyak warga yang memiliki antusias tinggi untuk sekadar menyaksikan. Mungkin karena sudah sering melihat pikir saya.
Di Istana Kesultanan yang akrab disebut Asi Mbojo kemudian ditampilkan simbolisme pengislaman dan penyebaran ajaran Quran oleh ulama Melayu dengan diawali pementasan tari Lengge Mbojo dan Lengge Melayu. Yang sedikit agak aneh adalah adanya pementasan drum band cilik yang sedikit ga nyambung dengan tema yang diusung Hanta Ua Pua.
[caption id="" align="aligncenter" width="256" caption="Sang Ulama Melayu"]
[caption id="" align="aligncenter" width="256" caption="Prajurit Jalan Kaki"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H