Wacana ekonomi pancasila merupakan kajian pemikiran yang bersifat teoritis-epistemologis yang gaungnya dimulai sejak 1965. Khususnya persoalan yang bersinggungan langsung dengan pangajewantahan sila V Pancasila yang implementasinya dijelaskan lebih rinci pada pasal 33 UUD 1945.
Sebagai sebuah polemik yang berdimensi luas, konsep ekonomi pancasila pada awal dekade 1980-an telah melahirkan sejumlah turunan perdebatan mengenai demokrasi ekonomi, atau sejumlah seminar yang membahas penjabaran pasal 33 UUD 1945 yang terjadi dalam rentang penghujung dekade 1980-an hingga awal dekade 1990-an. Begitu juga dengan perdebatan mengenai ekonomi rakyat versus ekonomi konglomerat yang berlangsung pada pertengahan dekade 1990-an hingga awal 2000-an.
Kelahiran konsep ekonomi pancasila pada era 1965 mencapai puncaknya dan menuai polemik antara 1980-1982 yang melibatkan puluhan sarjana dari berbagai disiplin ilmu, dari dalam dan luar negeri.
Fakta ini sangat mengejutkan dan menjadi bukti yang menunjukkan bahwa pernah terjadi sebuah perdebatan gagasan yang sangat hidup di Indonesia atas sebuah persoalan keilmuan. Terlepas dari polemik kebudayaan yang terjadi dekade 1930-an, polemik ekonomi pancasila bisa dikatakan sebagai polemik kedua yang memilki nilai penting dalam tradisi kesarjanaan di Indonesia. Namun sangat disayangkan polemik yang sangat hidup tersebut tidak lagi mudah ditemukan artefaknya oleh generasi belakangan. Melalui tulisan ini, saya ingin membangkitkan kembali gairah akademisi yang sempat redup. Menguliti satu demi satu arkeologi pemikiran intelektual ekonomi pancasila.
Sebagai sebuah gagasan, ekonomi pancasila telah menghasilkan banyak sekali pemikiran. Sayangnya, sejak istilah itu pertama kali muncul pada 1965, karangan-karangan itu berserakan di berbagai tempat dan tidak mudah ditelusuri. Di tengah buruknya perpustakaan publik dan keterbatasan lembaga arsip Indonesia, persoalan-persoalan itu menjadi hambatan pertama yang bisa segera mematikan setiap niat untuk melakukan kajian pemikiran di Indonesia.
Oleh karena mengarah kepada kajian pemikiran, wacana ekonomi pancasila yang saya angkat ini sesungguhnya bisa dipandang sebagai otokritik terhadap involusi idealistik kesarjanaan Indonesia. Meskipun pada kenyataannya sarjana Indonesia selalu mempelajari segala ide dan gagasan dari buku teks, mereka jarang bersentuhan dengan proses normatif dari pembentukan gagasan itu sehingga menghasilkan apresiasi yang lemah ketika bersinggungan dengan ide atau pemikiran yang baru saja memulai risalahnya.
Padahal, gagasan sebagaimana yang ditulis di dalam buku teks sudah dikonstitusikan oleh penerjemah sesuai dengan kebutuhan pedagogiknya. Jika dianalogikan dengan makanan, maka ide yang dipelajari oleh sarjana itu adalah makanan instan siap santap. Kebiasaan menyantap makaan siap saji itu menyebabkan sarjana bingung ketika harus berhadapan dengan bahan baku pengetahuan.
Dengan kata lain, sarjana Indonesia hanya melibatkan diri dalam konsumsi ilmu pengetahuan sebagai produk, namun tidak pernah berusaha melibatkan diri dalam proses pengerjaannya, yaitu menekuni ilmu pengetahuan sebagai proses, di mana kegiatan kesarjanan berusaha untuk menghasilkan penemuan. Itu sebabnya praktik diskursif di negeri ini pertama-tama hadir sebagai "wisata kuliner" dengan ide-ide impor atau praktik "pengecer". Mereka sekadar mengobral dan memantapkan teori-teori yang telah disepakati. Hampir sulit menemukan kritik teori apalagi inisiatif untuk membangun tradisi pemikiran baru.
Melihat kondisi ini, tentu sulit membayangkan sudah berapa banyak pemikiran sarjana di masa lalu yang punah hanya karena ketiadaan apresiasi dan minimnya kajian yang dilakukan. Entah sudah berapa tunas pemikiran yang mati kekeringan, hanya karena tuntutan memenuhi fungsi sebagai pohon rimbun yang berurat akar, sebuah tuntutan yang sepenuhnya tidak logis dan ahistoris karena telah mengabaikan fase perkembangan dari si tunas akar.
Kalau diperhatikan pada seminar-seminar di kampus, pada makalah-makalah yang ditulis di perguruan tinggi, di halaman-halaman jurnal yang diterbitkan, akan dengan mudah menyaksikan "sarjana kuliner" hanya menghasilkan "obesitas intelektual" semata. Terlalu banyak teori dan data yang mereka sajikan, namun sedikit saja yang relevan dengan persoalan-persoalan yang ingin dipecahkan. Dan dari sekian banyaknya pengetahuan yang berhasil dihimpun itu, hanya sedikit sekali yang kemudian bisa diabstraksikan dan lalu diolah menjadi ilmu.