Mohon tunggu...
Putri Rahayu
Putri Rahayu Mohon Tunggu... -

biarkan aku menjadi embun yang menyejukkan mereka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Menemukannya, Lagi

16 Mei 2012   19:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:12 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu. Ada apa dengan waktu? Kenapa waktu terasa cepat namun terkadang lamban sekali? Apa waktu mempermainkan kita dan kita harus menyia-nyiakannya? Tidak. Kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu, sebab kita tidak bisa mengembalikan waktu yang telah berjalan. Jangan biarkan dirimu menjadi orang yang merugi pada waktu. Jangan menjadi aku yang tidak sempat menggunakan waktu yang telah bersedia berdiri di hadapanku, tapi aku tidak melihatnya. Jangan menjadi aku yang tak mampu bermain dengan waktu padahal ia bersedia meluangkan ruangnya untukku. Dan jangan menjadi aku yang tidak sanggup melambaikan tangan pada waktu.

Waktu. Aku telah membiarkanmu pergi tanpa penjelasan seperti dia yang pergi tanpa penjelasan apa pun. Dia yang kubiarkan beranjak dariku. Dia yang seharusnya bisa kujadikan tempat bertanya. Dia yang selama enam tahun kutunggu. Dia yang pernah ada di sini, tempat yang sulit kujelaskan. Dia, Yoga namanya.

Malam ikut membuktikan bahwa keberadaan Yoga semakin nyata. Sekitar pukul 20.00 wib, ponselku berdering. Kulihat satu pesan diterima dengan nomor yang tidak kukenal. Kubaca dan si pemilik nomor itu ingin bermain tebak-tebakan denganku. Aku pun menebak dengan percaya diri. Kata si pemilik nomor itu benar. Tapi entah kenapa aku tidak percaya kalau itu benar. Seperti mimpi rasanya jika memang benar itu adalah Yoga, karena jika diulang masa dulu, putih-biru, sangat tidak mungkin Yoga menghubungiku.

***

Aku duduk di baris ketiga di kelas baru dan tentunya dengan teman-teman baru pula. Bagaimana tidak? Saat itu aku mulai memasuki lingkungan sekolah baru setelah berhasil lulus dari masa putih-merah. Sebisa mungkin aku memahami lingkungan sekitar. Waktu berjalan dan sedikit demi sedikit aku mengerti karakter teman-teman. Sejak itu pula, ada sesosok teman laki-laki yang berbeda dari yang lainnya, namanya Yoga. Maaf, aku tidak bisa menjelaskan dari sudut mana berbedanya. Aku tahu semua orang itu pada dasarnya baik, termasuk dia, tetapi dia bukan hanya baik melainkan pandai bergaul dengan teman yang lain. Apalagi ketika pengambilan rapor perdana di sekolah, ternyata peringkat aku dan dia hanya terpaut satu tingkat saja dan itu semakin membuatku melihatnya. Entahlah apa ini namanya kagum atau apa.

Rasa ini pun kuceritakan pada teman-teman yang kuanggap dekat dan terpercaya. Tetapi Imah lain sekali orangnya. Imah menulis namaku di tas Yoga dan hal itu membuat Yoga kesal, geram, bahkan marah. Kalau aku menjadi Yoga, pastinya juga akan merasa kesal atau bisa jadi aku memaki-maki Imah. Sungguh saat Yoga menatapku, membuat aku benar-benar merasa bersalah walaupun bukan aku yang melakukannya. Tapi mau bagaimana lagi, tingkah Imah sudah membuat hubunganku dengan Yoga memburuk, bahkan lebih dari “buruk”.

Selama putih-biru itu pun aku dan Yoga disatukan dalam kelas. Walau disatukan sekali pun, hubungan di antara kami tidak begitu baik. Bukan berarti kami bertengkar adu mulut setiap bertemu. Tidak. Tidak seperti itu. Kenyataannya, kami jarang sekali bertegur sapa, bahkan bisa dihitung. Ada rasa ingin berbicara dengannya, bergurau seperti teman yang lain, atau berdiskusi tentang pelajaran, tapi rasa malu sangat dominan.

Aku malu jika setiap hari bertemu dengannya. Malu karena keusilan Imah dan alhasil aku tidak berani menyapanya. Tingkah laku Imah benar-benar merugikanku. Sangat membuatku rugi. Mungkin maksud Imah pada waktu itu ingin menyampaikan bahwa aku kagum atau bisa dikatakan memiliki rasa yang berbeda pada Yoga dan menginginkan Yoga menghargai perasaanku. Tapi yang dimengerti Yoga tidak seperti itu, karena Yoga menganggap sikap Imah sangat keterlaluan. Itu yang kutafsirkan dari raut wajah Yoga.

Masa putih-biru selesai. Sejak itu juga aku berpisah dengan Yoga karena pilihan sekolah berikutnya kami berbeda. Awalnya ada rasa ingin mengikuti sekolah mana yang dipilih Yoga tapi aku berpikir, pilihan sekolah tidak bisa dipermainkan dan akan sangat fatal jika aku salah memilih sekolah. Masa putih abu-abu, aku pun mulai menggunakan ponsel. Karena ingin mengetahui kabarnya, aku mencari nomor ponsel Yoga. Aku mendapatkannya. Dengan ragu aku mengirim pesan padanya tetapi tanggapan dari Yoga, acuh. Aku paham. Mungkin Yoga masih kesal atau marah dengan peristiwa lalu. Tapi begitu pentingkah peristiwa itu sampai-sampai aku menjadi korban dari keusilan Imah? Adilkah untukku?

Aku melupakan untuk menghubunginya lagi. Melupakan bahwa Yoga akan membuka hatinya untukku. Melupakan bahwa aku akan bertemu dengannya lagi. Melupakan bahwa Yoga akan memaafkan sikap Imah dan mungkin, aku. Tidak. Lebih baik kulupakan saja. Tidak akan lagi kuhubungi Yoga.

***

Waktu kembali mempertemukanku dengan Yoga. Secara tidak langsung aku yang mendatanginya. Saat itu, aku menemani tetanggaku untuk mendaftarkan diri anaknya ke sebuah sekolah, tempat dimana Yoga bekerja. Ada rasa ingin bertemu tetapi takut dan ada harapan tidak bertemu tapi penasaran dengan dia yang sekarang. Ada rasa grogi menyelimuti. Bingung mau berbicara apa jika bertemu dengan Yoga. Tidak tahu bersikap bagaimana jika berhadapan dengannya. Takut tidak siap dengan penampilanku saat ini jika dia melihatku. Semua rasa bercampur aduk.

Mataku mulai berkeliling dan tertangkap sesosok yang sepertinya tidak asing. Yoga. Nafasku mulai tidak teratur dan berharap ia tidak melihatku. Sangat berharap Yoga tidak melihatku dari keramaian. Namun sepertinya waktu menginginkan pertemuan ini. Yoga melihatku. Ia tersenyum. Rasanya itu seperti makan permen yang tiada dua bandingannya. Lezat sekali. Mungkin terlihat berlebihan tapi memang begini kenyataannya. Setelah sekian tahun ia menyembunyikan senyumnya, kini ia dengan sumringah menatapku. Aku tak mungkin membalasnya dengan kening berkerut.

Yoga mendekatiku. Layaknya orang yang sudah lama tidak berjumpa, menanyakan kabarku dan kegiatanku sekarang. Aku menjawab dengan biasa, kabarku baik dan sekarang aku melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Aku pun sebaliknya menanyakan kabarnya. Percakapan kami tidak berlangsung lama karena ia harus kembali bekerja. Dengan berat hati, aku mempersilahkannya kembali bekerja. Kalau diperbolehkan, aku ingin menahannya agar tetap bersamaku dan menghabiskan waktu bersama. Tapi itu tidak mungkin.

Ternyata waktu memberikan ruangnya terlalu sempit saat ini. Andai saja waktu kembali memberikan ruang yang cukup untukku dengannya dan aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padanya. Aku ingin Yoga menjelaskan apa yang ia rasa ketika putih-biru dulu, apa ia memang benar-benar marah padaku sampai-sampai selama tiga tahun tidak mau bertegur sapa denganku? Apa yang membuat Yoga kini mau berkomunikasi denganku? Masih banyak pertanyaan yang menggerogoti pikiranku tentang sikap Yoga yang berubah. Cukup terkejut dengan perubahan sikap Yoga terhadapku tapi aku perlu tahu ada apa dibalik semua ini. Aku hanya tidak ingin sikap Yoga ini sesaat karena sudah cukup selama ini Yoga tidak memperhatikanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun