Mohon tunggu...
Putri Rahayu
Putri Rahayu Mohon Tunggu... -

biarkan aku menjadi embun yang menyejukkan mereka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selasanya Eca

16 Mei 2012   17:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:12 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku. Aku di sini sejak Reza berdiri di hadapanku dengan senyum polosnya itu. Senyum yang tak akan sama. Enggan aku beranjak dari sini, tempat yang sulit kujelaskan keberadaannya.

“Mau berapa lama lagi menahannya, Ca?” Pertanyaan Riska yang selalu mengejar. Pertanyaan yang selalu kujawab dengan pernyataan yang sama. “Entahlah. Aku sendiri tak tahu. Biarkan aku menikmatinya.”

Selasa menyapa, lagi. Tentu aku tersenyum menyambutnya sebab untuk kesekian kalinya aku menyapanya pula. Reza. Menyapanya dengan sentuhan kata di jejaring sosial. Ia selalu membalasnya, “rangkaian katamu selalu menegurku dengan ramah, terima kasih yang kesekian kalinya.”

Riska mendekatiku. “Ca, sudah menyelesaikan ritual?” Tanya Riska padaku dan aku membalasnya dengan sebuah senyuman manis. “Riska, jangan terlalu melebih-lebihkan fakta. Kamu nanya menyelesaikan ritual,  memangnya aku punya aliran baru? Aneh kamu, Ris!” tanggapku dengan tegas. “Kok kamu nunjuk diri sendiri, bukannya kamu yang aneh? Aneh semenjak menjadi Selasa untuk Reza. Reza yang selalu kamu kagumi tapi kamu tidak pernah mengutarakan kekagumanmu padanya. Ayolah, Ca! Ini 2012 dan waktunya kamu memulai. Mau sampai kapan berselimut dalam Selasa?” tutur Riska dengan panjang lebar.

“Ris, aku mau jujur tapi keberanianku telah punah. Aku hanya tidak ingin senyum itu hilang di saat aku mengatakan bahwa Selasa itu aku, orang yang telah mengirimnya pesan selama dua tahun ini. Jujur, aku memang mengaguminya tetapi aku tidak mampu untuk mengutarakannya sebab aku tahu, dia tidak akan suka dengan rasa ini. Dan aku tidak mau pertemanan kami lenyap, Ris,” tuturku.

Di saat meredakan nafas setelah berbicara panjang lebar, kulihat keadaan sekitar taman yang penuh dengan mahasiswa. Mataku terhenti pada sosok yang kukenal. Reza. Dia berada di belakangku. Entah berapa lama dia telah berada di sana. Apa dia mendengar pembicaraanku dengan Riska? Bagaimana kalau dia memang benar mendengarnya? Atau dia baru beberapa detik yang lalu di sana hanya untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya seminggu yang lalu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun