Ilustrasi oleh sekolahmaya.org
Banyaknya keluhan dari peserta UNBK SMA tahun 2018, khususnya untuk soal Matematika, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam filosofi penyusunan soal ujian di negeri ini. Pemangku kepentingan dalam ujian masih mengedepankan prinsip, bahwa soal yang berkualitas adalah soal yang tak bisa dijawab oleh peserta ujian.
Sebagai salah satu pengajar di perguruan tinggi keagamaan negeri, dalam membuat soal ujian, baik UTS maupun UAS, saya berpegang pada prinsip sederhana, Â soal yang mampu dijawab mahasiswa merupakan tanda bahwa mereka mampu menyerap dan memahami materi yang saya sampaikan.
Ujian sejatinya adalah media dalam mengevaluasi pembelajaran, dan bukan untuk membuat peserta didik menjadi tertekan. Sebagai media evaluasi, seharusnya ujian dibuat mengasyikkan. Faktanya, saat ini, ujian diidentikkan dengan pertarungan hidup mati. Konsekuensinya, jika gagal dalam ujian, otomatis dianggap gagal dalam menjalani kehidupan.
Cara pandang yang menjadikan peserta didik sebagai obyek mati yang mesti dievaluasi, menurut saya mesti dipertimbangkan kembali. Peserta didik adalah manusia yang mempunyai rasa, bukan obyek mati yang harus diuji dengan soal yang mempertaruhkan hidup dan mati. Setiap individu mereka terdiri dari pribadi-pribadi unik yang harusnya diperlakukan secara baik.
Sebenarnya banyak hal yang membuat ujian di negara ini menjadi sedemikian menakutkan. Salah satunya adalah soal yang diujikan. Soal adalah instrumen penting dalam evaluasi pembelajaran. Soal yang baik, menurut saya, adalah soal yang dapat membuat peserta didik bahagia saat mengerjakannya. Soal yang baik adalah soal yang tak membuat peserta didik tertekan, tapi yang mampu membuat mereka nyaman saat mengerjakan.
Membuat soal yang berkualitas tak selalu identik dengan soal yang sulit dipecahkan. Cara pandang bahwa semakin sulit soal yang dibuat, maka semakin berbobot kualitasnya, adalah cara pandang yang salah jalan. Justru sebaliknya, soal yang tak mampu dijawab peserta didik menunjukkan bahwa proses pembelajaran mengalami kegagalan. Semakin peserta didik tak mampu menjawab soal yang diujikan, semakin jelas jika si pengajar gagal dalam menyampaikan pelajaran.
Untuk itu, dalam membuat soal ujian, perlu cara pandang baru agar soal ujian tak menjadi menakutkan. Saya sendiri, saat membuat soal ujian bagi mahasiswa, selalu memprhatian tiga filosofi. Cara pandang (filosofi) dalam membuat soal ujian sangat penting. Sebab, hasil soal yang dibuat ditentukan oleh filosofi si pembuat soal.
Filosofi pertama, soal dibuat tujuannya agar dijawab dengan benar, sesuai dengan materi yang telah disampaikan. Jika filosofi pertama ini dipegang dalam membuat soal ujian, maka si pembuat soal tak akan memasukkan hal-hal sulit di dalam soalnya. Ingat, ujian bukan hanya media untuk mengevaluasi peserta didik saja, tapi juga kita, pengajar mereka. Kegagalan peserta didik dalam menjawab soal, adalah kegagalan pengajarnya juga.
Filosofi kedua, ada satu prinsip dalam agama yang saya anut, bahwa barang siapa yang mempermudah urusan orang, maka akan dipermudah oleh Tuhan. Sebaliknya, barang siapa yang mempersulit urusan orang, akan dipersulit urusannya oleh Tuhan. Saya kira, makna filosofi yang kedua ini sudah sangat jelas. Jika tak ingin dipersulit oleh Tuhan, jangan sampai mempersulit orang lain.
Tapi, perlu dipahami bahwa mempermudah bukan berarti membuat soal serampangan tanpa ada relasi dengan materi yang disampaikan. Mudah bukan berarti seenaknya. Ukuran mudah dan sulit tolok ukurnya adalah peserta didik, bukan si pengajar. Pembuat soal sering lupa, bahwa yang diuji adalah siswa/mahasiswa yang secara keilmuan biasanya berada di bawahnya. Sehingga, soal yang dibuat biasanya disesuaikan dengan standar keilmuan mereka, dan bukan peserta didiknya.