Rais Mbolhi, penjaga gawang Aljazair [foto: AFP/Kompas]
Sekarang lagi musim surat terbuka, makanya biar dibilang trendy saya juga tertarik membuat surat terbuka.
Yang terhormat Rais dan kawan-kawan,
Anda pasti tidak mengenal saya, saya tidak pernah berada di sekolah yang sama dengan Anda. Sayapun tidak pernah duduk di samping Anda ketika ujian. Tentu saja tidak, Anda hidup di negara Aljazair dan saya hidup di Indonesia. Jujur, sayapun baru mengenal nama Anda ketika gelaran Brasil 2014 resmi dihelat. Sebelum itu saya sama sekali tidak kenal Anda dan pasti Anda tidak kenal saya.
Rais dan kawan-kawan yang baik hati. Tahukah Anda kalau negara kita meski terpisah jarak ribuan kilometer dan zona waktu berjam-jam sesungguhnya adalah negara yang punya kaitan historis yang kuat? Presiden pertama kami bapak Ir. Soekarno adalah orang yang ikut membidani kelahiran negara Anda, Aljazair.
Di masa pemerintahannya dia bahkan berani mengirim senjata ke Aljazair untuk membantu kaum gerilyawan yang ingin memerdekakan negaranya dari jajahan Perancis. Ketika ditanya apa Bung Karno (begitu pak presiden kami itu biasa dipanggil) tidak takut pada embargo PBB karena dia melanggar aturan internasional? Dengan enteng dia menjawab, “Bawa ke sini itu PBB, biar saya kentuti.”
Yah begitulah, presiden kami itu memang sangat membenci penjajahan. Dia sangat membenci negara-negara Eropa yang sejak ratusan tahun lalu berkeliling ke berbagai tempat di dunia ini untuk kemudian menjajah negara-negara Asia dan Afrika. Jadi Rais dan kawan-kawan, meski negara kita berpisah jarak ribuan kilometer sebenarnya sejarah negara kita saling berkaitan.
Rais dan kawan-kawan,
Meski negara kita punya kesamaan dan bahkan kelahiran negara kalian sedikit banyaknya dibantu oleh negara kami tapi ternyata nasib negara kita berbeda di lapangan hijau. Meski kami sudah merdeka lebih dari enam puluh tahun atau lebih tua dua puluhan tahun dari negara kalian tapi kami belum pernah sekalipun melihat tim nasional sepak bola kami berlaga di ajang piala dunia. Kalian boleh lebih muda, tapi kalian lebih perkasa.
Rais dan kawan-kawan, maafkan saya karena melihat sebelah mata ketika kalian berlaga untuk pertama kalinya di Brasil 2014. Ketika kalian mencetak gol lewat penalti saya berucap, ini hanya keberuntungan. Dan ketika akhirnya kalian kalah dari Belgia, saya jadi yakin kalau kalian memang hanya datang sebagai pelengkap.
Rais dan kawan-kawan, saya salah. Saya akui kalau saya salah dan terlalu menganggap enteng kalian. Toh akhirnya kalian berhasil keluar dari grup sebagai runner up di bawah Belgia. Kalian menghancurkan asa orang Asia yang tadinya berharap Korea Selatan bisa lolos. Tak apalah, toh mereka akhirnya memang bermain jelek dan tidak pantas untuk lolos dari grup H.
Rais dan kawan-kawan yang baik,
Ketika kalian berhadapan dengan Jerman, saya sudah yakin kalau langkah kalian pasti akan terhenti. Dalam hati saya juga yakin kalau kalian bakal pulang dengan sedikitnya empat gol di gawang sendiri. Lawan kalian Jerman loh! Negara yang jadi salah satu unggulan di Brasil 2014, negara yang menghancurkan Portugal 4 gol tanpa balas. Negara yang pokoknya kekuatan sepak bolanya jauh di atas kalian.
Saya tahu senior kalian pernah mengalahkan Jerman di piala dunia 1982. Tapi itu 32 tahun lalu, pun itu terjadi di babak penyisihan grup dan toh akhirnya Jerman malah jadi finalis tahun itu. Jadi, tak elok rasanya kalau romantisme itu jadi pegangan kalau kalian bakal menang lagi. Kami juga sering mengungkit romantisme kala tim nasional sepak bola kami berhasil menahan imbang Uni Sovyet lebih setengah abad yang lalu. Romantisme yang sering kami ungkit meski toh romantisme itu tak ada pengaruhnya buat prestasi negara kami.
Rais dan kawan-kawan yang baik hati,
Sekali lagi saya salah. Kalian ternyata tidak mudah ditaklukkan. Kalian ternyata bukan anak kemarin sore yang begitu bertemu Jerman langsung lemes lututnya, langsung gemetar pusarnya dan langsung bingung mau berbuat apa. Kalian menolak untuk seperti itu, saya lihat sendiri bagaimana kalian dengan gagah berani melawan negara yang paling konsisten di putaran final piala dunia itu.
Kalian menolak untuk jadi seperti itu. Kalian melayani Jerman dengan semua kekuatan yang kalian punya. Hasilnya, negara yang dulu juga sempat masuk ke Afrika Utara itu jadi seperti kebingungan mencari cara menaklukkan kalian. Mereka bahkan butuh perpanjangan waktu dan sedikit keberuntungan untuk bisa menaklukkan kalian.
Rais dan kawan-kawan yang baik hati,
Ijinkan saya menghaturkan sejuta hormat buat Anda dan teman-teman. Kalian adalah laskar luar biasa yang tak mau menyerah begitu saja pada negara kuat seperti Jerman. Bung Karno pasti sangat bangga kalau saja dia melihat bagaimana kalian dengan gagah berani melawan Jerman di lapangan hijau. Dia pasti seolah-olah melihat bagaimana negara ketiga gagah berani melawan kolonialisme dan para penjajah meski mungkin ini tak benar seratus persen.
Apapun itu, saya harus mengakui kalau kalian adalah rubah padang pasir yang sebenar-benarnya. Ijinkan saya untuk memberi salam hormat sedalam-dalamnya. Kalian luar biasa! Pun dengan beberapa tim kuda hitam lainnya yang tak menyerah begitu saja pada negara-negara besar dengan prestasi mengkilap di lapangan hijau.
Selamat jalan Rais dan kawan-kawan, selamat berlibur! Kalian sudah menghibur kami, para pecinta sepak bola di Indonesia yang rela memotong waktu tidur karena perjuangan kalian yang tak kenal lelah. Terima kasih.
Makassar, 2 Juli2014
NB: Surat ini tidak perlu dibalas karena kalian juga pasti tidak tahu apa isinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H