[caption id="attachment_118673" align="aligncenter" width="300" caption="Buzkashi ; Olahraga khas Afghanistan"][/caption]
” Berapa harga kepala kambing ini ? ” , Tanya seorang pembeli
” Lima puluh afghani “, Jawab penjual
” Lima puluh ? Mahal sekali, dua puluh saja “, Si Pembeli menawar
” Apa ? Dua puluh ? Kamu gila ? Kamu kira ini kepala manusia ? “
**lelucon dari Kandahar, Afghanistan.
Apa yang anda bayangkan tentang Afghanistan ? Sebuah negara yang akrab dengan perang ? Bom bunuh diri ? Roket ? Kemiskinan ? Perempuan dengan wajah tertutupi burqa ? Alam yang ganas ? Debu yang selalu menyelimuti ? Semua mungkin benar.
Bagi seorang Agustinus Wibowo, Afghanistan adalah sebuah negeri yang penuh misteri. Maret 2001, gerilyawan Taliban merobohkan patung Buddha raksasa di Afghanistan dan ditayangkan ke seluruh dunia. Tak ada yang mengira kalau tayangan itu justru membuat seorang lelaki kewarganegaraan Indonesia jatuh cinta pada alam yang menjadi latar belakang adegan perubuhan patung tersebut.
Agustinus Wibowo secara ajaib merasakan sebuah panggilan dari negeri yang porak-poranda karena perang itu. Sebuah mimpi kemudian makin menguatkan ambisinya untuk mengunjungi negeri di utara Pakistan tersebut.
Agustinus akhirnya masuk ke Afghanistan. Bukan sebagai seorang turis, tapi sebagai seorang pengembara. Merangsek sampai ke jantung Afghanistan, bergaul dengan warga lokal, mencecap budaya setempat, dengan bekal uang a la kadarnya dan hanya berbekal keberanian yang kadang tidak masuk akal.
Afghanistan begitu jauh merasuk ke dalam nadinya, membuat perjalanan berat dengan mobil-mobil tua nan renta dinikmatinya apa adanya. Tidur di kedai teh yang bobrok, berkawan dengan lalat dan nyamuk, bahkan Agustinus sempat berjalan kaki 40 KM hanya karena kalimat “tidak jauh lagi” . Bahkan yang paling parah, Agustinus berkali-kali mengalami pelecehan seksual, ditawar lelaki dan bahkan nyaris diperkosa. Hanya keteguhan luar biasalah yang membuat lelaki asal Lumajang itu tidak mengendurkan langkahnya dan terus berjalan menyusuri Afghanistan.
Selimut Debu menyingkap wajah Afghanistan. Negeri yang selama ratusan tahun terus dikuasai negeri asing, mengusir para penjajah, dijajah lagi, mengusir penjajah lagi, perang antar etnis dan kemudian jatuh dalam kemelaratan yang panjang.
Afghanistan adalah sebuah negeri indah ibarat surga yang terlupakan. Tak banyak yang tahu kalau Afghanistan menyimpan lukisan alam yang begitu memukau. Deretan bukit gersang yang tertutupi salju di musim dingin, hamparan padang rumput yang menghijau, atau bahkan hamparan padang pasir yang gersang sejauh mata memandang.
Dalam Selimut Debu, Agustinus juga menuliskan ragam budaya khas Afghanistan. Bagaimana orang Afghan menghargai para tamunya, bahkan rela mati demi tamunya. Bagaimana orang Afghan tak pernah secara frontal mengatakan tidak untuk menunjukkan penolakan. Orang Afghan lebih suka mengutarakan alasan yang berbelit-belit untuk menunjukkan kalau mereka sebenarnya keberatan. Kita yang harus pandai membaca gelagat.