Belakangan ini ramai beredar cerita soal kartu kredit. Beberapa orang kemudian bercerita banyak tentang pengalamannya bersama kartu kredit. Saya juga tiba-tiba merasa tergoda untuk berbagi cerita tentang pengalaman saya menggunakan uang plastik itu. Pertama kali punya kartu kredit sekitar tahun 2004, sebenarnya sejak sebelum tahun 2000 sudah tahu tentang kartu kredit tapi waktu itu sama sekali belum terpikir untuk punya. It?s really out of my league. Baru pada tahun 2004 setelah menikah saya tergoda untuk punya kartu kredit. Dari awal memang sudah ada kesalahan dalam menerbitkan kartu kredit. Penghasilan saya waktu itu sebenarnya belum memenuhi syarat untuk punya kartu kredit, tapi tahu sendirilah. Dengan trik sederhana nilai penghasilan saya di-up sedemikian rupa sehingga hanya dalam waktu beberapa minggu kartu kreditpun tiba di tangan. Bukan hanya satu, dua sekaligus. Oh ya, waktu itu memang ada marketing kartu kredit yang datang ke kantor hingga akhirnya yang apply juga bejamaah. Pertama menggunakan kartu kredit rasanya nikmat banget. Bayangkan, bagaimana tidak nikmat kalau anda hanya perlu menyerahkan selembar kartu dan bisa pulang membawa barang. Belum lagi efek ketika menyerahkan kartu itu, rasanya gaya bangett..!! Klop sudah, akhirnya semenjak itu saya jadi rajin menggunakan selembar uang plastik itu. Ketika surat tagihan datang, rasanya masih enteng. Toh masih bisa bayar minimum payment, jumlahnya cuma 10% dari total tagihan. Sama sekali tidak terasa beratnya. Itu kesalahan kedua, dan termasuk kesalahan terbesar. Membayar tagihan hanya dengan mengisi minimum payment. Punya dua kartu kredit ternyata tidak lantas membuat saya puas. Berikutnya dengan mudahnya saya bisa mengapply ( dan kemudian disetujui ) beberapa macam kartu kredit lagi. Syaratnya tidak sesulit yang pertama lagi karena selain kopi identitas diri saya hanya hanya perlu menyertakan kopian tagihan 3 bulan terakhir di mana waktu itu semuanya masih lancar. Akhirnya total saya kemudian punya delapan kartu kredit, sebagian besarnya adalah gold, yah..gold dari beragam bank di dalam dan luar negeri. Itu adalah kesalahan kedua saya, dan kesalahan yang fatal tentunya. Kesalahan paling mendasar adalah kesalahan dalam memanage penggunaan dan pembayaran kartu. Akibat seringnya menumpuk pembayaran dengan hanya membayar minimum payment, tagihan jadi menumpuk. Beberapa kali juga saya tergoda untuk menggunakan kartu kredit pada keperluan yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat, keperluan yang sebenarnya bisa ditutupi dengan cara yang lain selain menggunakan kartu kredit. Beberapa kali juga saya dengan bodohnya membantu teman membeli alat elektronik menggunakan kartu kredit saya. Kenapa saya bilang bodoh ? Sebenarnya bukan bodoh karena menolong orang, tapi bodoh karena tidak cermat dalam mengelola cicilan sang teman yang menggunakan kartu saya. Terkadang pembayaran mereka saya pakai untuk menutupi tagihan kartu yang lain. Benar-benar berada dalam lingkaran setan. Masa paling kelam adalah masa ketika saya mulai sadar telah berada dalam cengkeraman jerat kartu kredit. Beberapa bulan saya kesulitan membayar tagihan, walhasil para penelepon semakin gencar meneror. Saya mulai terganggu, sampai-sampai ada semacam phobia waktu itu. Setiap kali handphone berdering dan nomornya tidak terdaftar, saya pasti jadi deg-degan dan akhirnya membiarkan saja handphone berdering. Seperti yang anda bayangkan, para penagih itu sungguh tidak sopan. Mereka membentak dengan suara kasar, memaki dan bahkan mengancam. Ketika saya menolak mengangkat telepon, mereka menelepon ke kantor. Akhirnya teman-teman kantor yang jadi korban. Sang penagih tak mau tahu, dia tetap saja memaki dan berkata kasar pada teman-teman front office yang menerima telepon. Benar-benar situasi yang tak nyaman. Saya mungkin beruntung para penagih itu tidak sampai datang ke kantor atau ke rumah, mungkin karena jumlah tagihan saya yang tidak sampai puluhan juta rupiah. Jadi silakan anda bayangkan sendiri bagaimana nasib mereka yang terbelit hutang kartu kredit sampai puluhan juta rupiah. Lalu, bagaimana saya akhirnya bisa lepas dari jerat utang kartu kredit ? Alhamdulillah karena akhirnya saya segera sadar. Istri saya adalah orang yang paling gigih untuk "menyadarkan" saya, bahkan sampai terjadi gesekan berat karena masalah kartu kredit ini. Saya yang awalnya masih keras kepala akhirnya luluh juga pada usaha keras istri saya. Bersama istri saya mulai menyusun program penyehatan keuangan meski memang tidak mudah. Ketika ada uang berlebih saya melunasi utang yang bisa dilunasi atau setidaknya mengurangi tagihan yang paling besar. Sebagian besar tagihan itu memang berasal dari bunga, yup kartu kredit memang berbunga paling subur di antara beragam kredit lainnya. Beberapa bank menawarkan cicilan sisa tagihan tanpa bunga dengan syarat kartunya tidak bisa terpakai lagi. Okeh, tak ada masalah karena sayapun memang sudah tidak berniat lagi untuk menggunakan kartu kredit. Dengan niat yang kuat dan usaha yang keras Alhamdulillah perlahan-lahan saya mulai bisa keluar dari jerat kartu kredit. Beruntung saya segera sadar sebelum betu-betul terjerat dalam lingkaran setan yang menakutkan. Tapi, apa betul kartu kredit itu hanya penuh dengan jeratan ? Mungkin tidak juga, karena buktinya ada beberapa teman saya yang pandai mengelola kartu kreditnya, meski punya belasan lembar kartu kredit mereka tetap bisa tenang tanpa terbebani oleh beragam tagihan yang menumpuk. Saya juga pernah merasakan tertolong oleh kartu kredit. Suatu waktu saya berada dalam kondisi kepepet ketika anak pertama saya lahir dan kartu ATM pas lewat masa berlakunya, waktu itu kartu kredit jadi penolong. Saya bisa membayar tagihan rumah sakit menggunakan kartu kredit. Tapi, saya sungguh bukan orang yang bijak menggunakan kartu kredit. Saya sadar itu, dan makanya sekarang saya menolak semua bentuk kartu kredit. Sudahlah, kenangan buruk itu biar jadi pelajaran saja. Jangan sampai terulang lagi. Dan, beberapa jam yang lalu saya baru saja menolak tawaran seorang marketer kartu kredit yang menawarkan kartu kredit dari salah satu bank dalam negeri. Maaf mbak, saya sudah tidak butuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H