“Orang Dayak Punan itu dulu dianggap sebagai orang Dayak paling terbelakang, tapi sekarang mereka sudah bisa menegakkan kepala sejajar dengan orang Dayak lainnya.” Kata Boro Suban Nikolaus yang akrab disapa pak Niko atau Om Niko.
Pak Niko kami temui di malam pertama ketika kami menginjakkan kaki di Malinau, Kalimantan Utara. Sosoknya yang murah senyum langsung menenangkan kami setelah perjalanan panjang 2 jam dari Kabupaten Tana Tidung (KTT) ke Malinau yang ditempuh lewat jalan darat yang lumayan menyiksa. Sepanjang jalan tubuh kami lebih sering terguncang akibat jalanan tanah yang tak rata. Untung saja mobil kami berpendingin ruangan sehingga debu-debu yang beterbangan dari luar tidak sampai masuk dan mengganggu. Jalanan tersaput debu, nyaris seperti kabut yang menghalangi pandangan.
Pak Niko yang bertubuh tinggi langsing dengan kulit legam dan rambut keriting terlihat berbeda dari orang Dayak pada umumnya. Dari awal saya sudah menduga kalau beliau bukan orang Dayak. Sepanjang yang saya tahu, orang Dayak umumnya bertubuh pendek dan kekar dengan kulit yang terang.
Ternyata memang benar, pak Niko berasal dari Nusa Tenggara Timor. Tepatnya dari Leworere, Flores Timur. 4 April 1977 untuk pertama kalinya pak Niko menginjakkan kaki di Malinau setelah perjalanan panjang selama 2 minggu dengan kapal kayu. Dia bahkan masih ingat dengan jelas harinya; hari Rabu.
Kedatangannya ke Malinau adalah untuk mengabdi sebagai guru agama yang berada di bawah kepasturan. Jadilah dia masuk ke pelosok-pelosok Kalimantan, bertemu dengan orang-orang Dayak di pedalaman dan mengajarkan alkitab pada mereka.
“Waktu itu gaji saya Rp. 2.500,- atau setara dengan satu setengah ekor ayam. Kalau dirupiahkan sekarang, mungkin sekitar Rp. 50.000,-“ Katanya.
Gaji sekecil itu tentu saja tidak cukup untuk membiayai hidupnya sehari-hari, apalagi waktu itu Niko muda masih penuh dengan semangat yang berapi-api. Niko muda sempat memprotes pastur muda yang jadi atasannya, menudingnya tidak menghargai perjuangan Niko yang begitu berat mengemban tugas hingga masuk ke pedalaman Kalimantan.
“Saya bahkan mengatainya pastur bodoh.” Katanya.
Tahun 1982, pak Niko hampir menyerah dan mengundurkan diri menjadi guru. Tapi nasib berkata lain, seorang pastur lain malah menawarkannya beasiswa ke Yogyakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Filsafat. Pak Niko tentu saja menerimanya. Tiga tahun di sana, pak Niko kembali ke Malinau yang kala itu masih masuk dalam provinsi Kalimantan Timur.
Baru menginjakkan kaki di Malinau, pak Niko langsung dikirim kembali ke pedalaman Kalimantan, tempat suku Dayak Punan bermukim. Perintah ini kontan membuatnya kesal. Wajar karena kala itu dia masih seorang pemuda yang 3 tahun kuliah di Yogyakarta dan menikmati nyamannya kota besar tapi tiba-tiba sudah harus dikirim ke pedalaman di hari pertamanya mendarat kembali ke Kalimantan.
“Bayangkan, saya masih harum-harumnya baru pulang dari Yogya tiba-tiba harus masuk hutan dan tidur bersama orang Dayak Punan. Tikar mereka saja penuh dengan bau kencing dan bau kotoran.” Pak Niko tertawa mengenang kejadian itu.
Belakangan dia baru tahu kalau ternyata itu adalah cara orang kepasturan untuk menghukumnya gara-gara perselisihannya dengan pastur muda tiga tahun lalu. Kadung kesal, pak Niko memilih membangkang dengan menambah waktu tinggalnya di kampung orang Dayak Punan. Dari tugas yang hanya sebulan, dia tinggal sampai tiga bulan lebih.
Tanpa disadarinya kecintaan pada orang Dayak Punan mulai tumbuh.
Membangun LP3M.
Persentuhan yang makin intens dengan orang Dayak Punan membuatnya makin mencintai salah satu suku asli penghuni pulau Kalimantan itu. Di mata pak Niko, orang Punan adalah penjaga terakhir hutan Kalimantan. Dayak Punan memang dikenal sebagai suku yang menetap di dalam hutan. Mereka tidak hidup sebagai peladang atau petani, mereka hanya memanfaatkan apa yang ada di hutan. Makan buah-buahan atau sagu yang dihasilkan hutan serta berburu binatang dan ikan. Mereka memang selalu berpindah-pindah, tapi tidak pernah berani merusak hutan yang mereka anggap sebagai rumah sendiri.
Belakangan orang Punan memang mulai menetap di pesisir sungai dan mulai mengadopsi sistim pertanian ladang. Tapi kecintaan mereka pada hutan tidak pernah luntur, mereka bahkan bersikeras melawan para pengusaha kelapa sawit yang ingin merambah hutan mereka.
Pak Niko ada di belakang mereka. Berbekal ilmu dan pengetahuan modern yang lebih, pria kelahiran 6 Desember 1955 ini terus memberi semangat dan mengadvokasi orang Punan untuk melawan pengusaha rakus yang hendak merebut hutan adat mereka.
Perjuangan pak Niko bukan tanpa halangan. Suatu saat muncul fitnah yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak senang dengan apa yang dilakukannya. Kata mereka pak Niko sengaja mendekati orang Punan karena ingin menjual mereka pada lembaga donor asing. Mereka berusaha mengadu domba pak Niko dengan orang-orang Punan. Suatu waktu yang lain orang pemerintah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada pria yang menikah dengan gadis Dayak Merap di tahun 1996 itu.
Tapi semua itu tidak berhasil menggoyahkan tekad pak Niko mendampingi orang Dayak Punan.
Waktu juga yang membuktikan, perjuangan pak Niko pelan-pelan mampu menyuntikkan semangat dan pemahaman pada orang Punan untuk tetap menjaga hutan mereka. Tahun 2005 pak Niko resmi mendirikan Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Punan Malinau yang disingkat LP3M. Lewat lembaga ini dia makin menegaskan usahanya untuk mendampingi dan memberdayakan orang Punan di Malinau.
Perjuangan pak Niko tidak sia-sia. Orang Dayak Punan yang dulunya dikenal sebagai suku Dayak yang tidak beradab dan tinggal di hutan perlahan-lahan bisa beradaptasi dengan perubahan jaman dan mulai hidup layak seperti suku Dayak lainnya. Meski mulai mencicipi kehidupan modern, orang Punan tetap memegang teguh sikap mereka menjaga hutan dan tidak mengijinkan sejengkalpun hutan adat mereka disentuh investor.
Pengabdian pak Niko yang berhenti sebagai pengajar tahun 1992 itu membuat sosoknya dihormati dan dicintai orang Punan, khususnya Desa Punan Adiu. Kharismanya terlihat jelas ketika dia mengantarkan kami ke sana. Orang-orang Punan memandangnya dengan hormat, bahkan ketua adat sekalipun.
Orang-orang seperti pak Niko mungkin tidak banyak, orang-orang yang rela meninggalkan hidup nyaman dan menolak tawaran duniawi hanya demi mendampingi para penjaga terakhir hutan Kalimantan. Kelak, anak-cucu kita harus berterima kasih pada orang-orang seperti beliau. [dG]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H