Dua tahun lalu kebetulan saya dapat pekerjaan menemani beberapa orang tamu dari Afghanistan yang saat itu sedang menjalani pendidikan di kota Makassar. Interaksi dengan orang-orang baru dari sebuah negeri yang jauh itu sangat berbekas sampai sekarang.
Salah satu yang paling berbekas adalah ucapan kekaguman mereka melihat orang-orang Indonesia. Bagaimana orang Indonesia bisa hidup berdampingan dengan cerah ceria, tenteram dan damai sentosa. Mereka membandingkan dengan keadaan di negara mereka nun jauh di sana.
Di Afghanistan hanya ada sedikit etnis, dua etnis besar (Pashtun dan Hazara) dengan sedikit etnis kecil seperti Tajik, Uzbek dan Mongol. Agamapun hanya ada segelintir dengan Islam sebagai mayoritas dan Kristen dan Budha sebagai minoritas dengan jumlah sangat sedikit. Tapi apa yang terjadi? Dengan sedikit sekali perbedaan itu Afghanistan masih jadi negara yang kadang jauh dari kata aman. Bom bunuh diri, penembakan, penculikan dan pembunuhan masih jadi sesuatu yang jamak di negeri mereka. Kadang bahkan seperti obat yang ditelan secara berkala.
Bandingkan dengan Indonesia. Kita punya 1.128 etnis (sensus BPS 2010) dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Kita punya 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Rote. Kita punya banyak agama yang beragam dan berbeda-beda.
Tapi apakah perbedaan itu membuat kita terpecah? Untungnya tidak. Beragam perbedaan itu tidak membuat kita pecah dan saling memecah, perbedaan itu malah jadi sesuatu yang unik dan memberi banyak warna cerah ceria bagi Indonesia.
“If you come to my country, you will thank God every 10 minutes.” Kata seorang kawan Afghanistan kala itu. Kalimat yang membuat saya mengguman dalam hati, menggumamkan rasa syukur akan keindahan negeri ini.
*****
Taman Mini Indonesia Indah. Mendengar nama itu bayangan saya langsung mengarah ke masa kecil. Kala itu saya hanyalah seorang anak kampung yang tinggal jauh dari kota Jakarta. Melihat gambaran tentang Taman Mini Indonesia Indah selalu membuat saya membangun imaji sendiri betapa menyenangkannya tempat itu. Tempat dimana saya bisa melihat banyak keragaman Indonesia dan istana-istana serupa istana yang biasanya saya lihat di majalah anak-anak.
Saya baru bisa menginjak sendiri Taman Mini Indonesia Indah bertahun-tahun kemudian ketika saya bukan lagi anak-anak. Ada sensasi sendiri ketika akhirnya bisa melihat dari dekat sebuah tempat yang dulu selalu saya idam-idamkan sejak kecil.
Taman Mini Indonesia Indah bagi saya adalah sebuah miniatur Indonesia, sebuah tempat dimana budaya-budaya Indonesia yang beragam itu berkumpul jadi satu. Pertama kali menginjak TMII saya masih belum bisa mengeksplorasinya karena kala itu saya masih ikut dalam rombongan. Saya hanya sempat berkunjung ke beberapa tempat yang sudah jadi ikon TMII, utamanya Teater Keong Mas. Saya lupa detailnya, tapi yang teringat jelas bagaimana senangnya saya kala itu.
Beberapa tahun kemudian saya akhirnya kembali lagi ke TMII. Kali ini saya bisa bebas berkunjung dan menikmati banyak sisi TMII. Saya sudah lebih dewasa waktu itu dan saya ke TMII bersama teman-teman sebaya. Kali ini saya sudah merasakan betul bagaimana TMII bisa menjadi sebuah tempat yang benar-benar menggambarkan Indonesia.
Di TMII saya bisa mendatangi satu persatu anjungan daerah, mempelajari secara singkat budaya mereka, kebiasaan mereka dan tentu saja keindahan mereka satu persatu. Di TMII saya juga bisa menikmati banyak museum yang menyimpan jejak kebesaran bangsa ini. Sepulangnya dari sana saya makin terobsesi melihat langsung keindahan Indonesia secara nyata.
Kita memang butuh satu tempat yang bisa mengumpulkan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Tempat dimana anak-anak kita bisa melihat sendiri betapa negeri ini kaya akan keragaman budaya yang hidup damai berdampingan. Dengan pendekatan yang menyenangkan dan tidak membosankan anak-anak akan dibuat terpana pada indahnya negeri ini, pada banyaknya keragaman yang justru membuat Indonesia jadi kuat.
Negeri dengan banyak budaya yang berbeda-beda ini sangat rentan pada perpecahan. Kita sebenarnya mudah untuk saling diadu domba satu sama lain hanya karena ada budaya, kebiasaan atau kepercayaan yang berbeda. Itu sudah sering terjadi, meski kita masih terus bisa bertahan menjaganya. Tapi, ancaman itu masih terus mengintai.
Ancaman itu bisa ditangkal dengan memberikan gambaran tentang keanekaragaman budaya dan latar yang hidup di negeri ini, lengkap dengan gambaran sejarah kebesaran kita. Semakin kita menghargai perbedaan itu maka tentu semakin kuat kita sebagai sebuah bangsa.
Saya setuju kalau TMII dianggap sebagai perekat budaya bangsa. Di tempat seluas 150 hektar inilah Indonesia ditampilkan, ragam budayanya dikumpulkan dan ditunjukkan kepada pengunjung. Sangat penting untuk terus menjaga kehadiran TMII di tengah gempuran ancaman perpecahan di negeri ini.
Tahun ini TMII akan berusia 40 tahun, deretan angka yang cukup panjang untuk memberi warna bagi negeri ini. Dalam rentang waktu sepanjang itu pastinya sudah banyak orang yang terinspirasi betapa kaya dan beragamnya Indonesia. TMII bisa jadi perekat budaya Indonesia yang beragam, mengenalkan keragaman sejak dini dengan cara yang menyenangkan.
Saya yakin kita semua sepakat, tak hendak melihat Indonesia menjadi negara seperti Afghanistan, negara yang seperti tidak pernah lelah untuk saling berpecah sesamanya. Karena saya percaya, tidak ada yang lebih menyenangkan dari hidup damai dan tenteram dalam perbedaan yang justru memberi warna. [dG]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H