Gunung Kelud ternyata menyebabkan jatuhnya korban secara tidak langsung. Korbannya adalah orang-orang yang kebetulan sedang tidak bijak memanfaatkan media sosial.
Gunung Kelud meletus lagi di suatu malam di bulan Februari. Letusannya mengirim debu vulkanik dan memaksa ribuan orang mengungsi. Di linimasa, ribuan orang bersuara. Sebagian besarnya adalah suara berisi kekhawatiran tentang bencana yang seperti beruntun hadir di negeri ini. Karena Jawa adalah pusat, maka bencana kali ini ditanggapi lebih banyak orang, tidak seperti Sinabung atau Rokatenda yang sepoi-sepoi mampir di telinga kita. Dari ribuan kicau bernada khawatir dan berisi doa itu terselip sedikit kicauan yang berbeda. Pertama ada kicauan yang bernada canda. Mengaitkan letusan Gunung Kelud dengan malam kasih sayang yang tanggalnya bertepatan. Si pekicau ternyata adalah seorang warga yang tinggalnya tak jauh dari lokasi Gunung Kelud, rupanya dia bermaksud meredakan kekhawatiran orang yang lalu lalang di twitter dengan melepas kicauan yang bernada bercanda. Niatnya baik, tapi tak cukup baik diterima oleh banyak orang. Dalam waktu singkat twitnya yang bernada canda itu disebar banyak orang. Tanggapanpun dengan cepat mampir ke akun twitternya. Sebagian besar adalah tanggapan yang menyerang si Mbak pembuat twit itu. Ada yang bilang dia tak berotak, ada yang bilang dia tega karena masih sempat-sempatnya bercanda di tengah bencana yang menyergap saudara-saudara kita, ada juga yang terang-terangan menyemburkan kata-kata kasar. Si Mbak pembuat twit itu kelimpungan. Rupanya dia tidak menyangka twit bercandanya bisa mengundang reaksi orang seperti itu. Sepanjang malam dia terus meminta bantuan dari kawan-kawannya dan berusaha menjelaskan kalau dia hanya bercanda dan dia juga salah satu korban letusan Gunung Kelud. Tapi twit-twit cemoohan dan serangan terus saja masuk, malam itu dia mungkin tak bisa tidur nyenyak. Keesokan harinya semua berangsur reda, si Mbak itu mungkin bisa bernafas lega dan menyesali candanya yang ternyata berbuntut panjang.
Sampai Tutup Akun.
Kalau si Mbak pertama tadi bisa bernafas lega dan melanjutkan hidup dengan akun twitternya yang lama, tidak demikian dengan mbak yang lain. Mbak yang kedua ini entah sedang berpikir apa atau entah sedang bergelut dengan pikiran apa ketika melepas twit yang menghubungkan letusan Gunung Kelud dengan hari kasih sayang sambil tak lupa menuliskan kata orang-orang kafir. Entah siapa yang mulai menyebarkan twitnya, tapi dengan cepat twit itu memancing reaksi orang banyak. Kali ini bahkan lebih parah dari Mbak yang pertama tadi. Kalau Mbak yang pertama tadi twitnya bernada bercanda maka Mbak yang kedua ini mungkin dianggap menyerang, tentu karena ada kata ORANG-ORANG KAFIR di twitnya. Ibaratnya orang sudah terkena bencana masih pula disalahkan. Karena itu reaksi orang juga jadi berbeda. Saya tidak tahu berapa lama si Mbak kedua ini diserang di media sosial, saya terlambat mendengar kabarnya. Tapi saya menemukan bagaiamana ratusan orang dengan cepat menyerangnya seperti aliran larva gunung berapi. Si Mbak tidak tahan dan akhirnya menutup akun twitternya. Dia pasti tertekan melihat ratusan mention yang mendarat di akunnya. Sebagian besarnya (atau mungkin semuanya?) berisi kecaman, tudingan dan tentu saja kata-kata kotor. Tidak berhenti sampai di situ. Seorang standup comedian yang punya puluhan ribu pengikut di twitter juga merilis akun Facebook si Mbak itu sambil dibubuhi kalimat: hajar nih facebooknya ******. Luar biasa! Saya membayangkan dalam sekejap akun facebook si Mbak juga diserang ratusan orang, orang yang sudah terlanjur kesal dengan isi twitnya dan orang yang patuh pada si standup comedian yang juga selebtweet itu.
Kebodohan Dibalas Kebodohan
Saya sepakat kalau ada yang bilang Mbak itu melakukan kebodohan. Merilis sebuah pernyataan sikap ke publik yang menghubungkan bencana dengan kekafiran saya kira bukan sesuatu yang bijak. Bayangkan bagaimana perasaan korban letusan Gunung Kelud, mereka saya yakin tak peduli pada hari kasih sayang yang dibilang sebagai bagian kekafiran itu, tapi kenapa mereka yang jadi korban? Si Mbak bebas saja berpendapat begitu, tapi ketika pendapatnya dilempar ke publik maka dia juga harus siap menerima pendapat orang yang sayangnya tidak lebih pintar dari dia dalam melihat situasi. Tapi saya tidak sepakat dengan cara si standup komedian yang juga selebtweet itu. Hanya karena merasa lebih terkenal dan lebih punya kekuatan dari si Mbak yang "bukan siapa-siapa" itu dia sampai mengajak orang untuk menghajar akun Facebook si Mbak. Dia mungkin tersinggung dan ketersinggungannya memaksa egonya untuk menggunakan kekuatan sebagai selebtweet untuk menggerakkan orang yang juga sama tersinggungnya dengan dia. Ibarat seorang raja yang marah dan menyuruh abdinya untuk menyerang sang penyerang. Kekuasaan memang membuat kita bisa menuntaskan dendam tanpa harus mengotori tangan sendiri, tinggal tunjuk maka orang lain siap untuk menuntaskannya. Dalam kacamata saya yang kadang tidak tepat ini, si Mbak memang salah. Setidaknya dia salah menempatkan diri dalam suasana yang sedang sensitif. Tapi dia sudah menerima balasannya. Media sosial adalah ladang subur tumbuhnya bully massal. Media sosial adalah dunia di mana semua orang berkedudukan sama, semua orang punya kebebasan yang sama. Bahkan bebas untuk menyerang orang lain. Si Mbak sudah merasakan akibatnya, mungkin saking depresinya dia sampai menutup akun twitternya. Tak tahan melihat komentar ratusan orang yang sebagiannya bernada kasar. Tapi dari kacamata saya juga saya percaya kalau si selebtweet yang standup comedian itu juga tidak bijak. Apa yang terjadi di twitter tak lantas harus disambung-sambungkan ke media sosial yang lain bukan? Atau dia melakukannya karena dia merasa punya kuasa dan kekuatan yang besar? Buat saya ini semacam satu kebodohan yang diikuti kebodohan lainnya dari orang yang berbeda. Seolah-olah tak ada lagi cara lain yang lebih bijak untuk menunjukkan kesalahan orang. Gunung Kelud meletus dan membuat banyak orang menderita. Orang-orang terpaksa mengungsi dan kehilangan kenyamanan. Di luar itu ternyata ada juga korban lainnya. Si Mbak pertama sempat menjadi korban meski akhirnya berhasil terus menjalani hidupnya mungkin dengan penyesalan. Sementara itu si Mbak kedua harus berjuang lebih keras untuk melanjutkan hidupnya. Mereka berdua adalah korban secara tidak langsung, orang menyebutnya collateral damage. Sayangnya karena mereka sendiri yang menjadikan dirinya sebagai korban meski sebenarnya kita juga punya peran menambah penderitaan mereka. Sampai di sini saya percaya kalau media sosial itu berbahaya, letusannya bisa serupa letusan gunung yang mematikan atau setidaknya membuat kita menderita. Tentu jika kita tidak waspada. [dG]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H