Mohon tunggu...
bung alin
bung alin Mohon Tunggu... lainnya -

bukan mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Bulan Desember

13 Januari 2014   16:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit nampak mendung waktu itu. Sesekali terdengar teriakan petir dari kejauhan. Laksmi memandang keluar jendela kamarnya. Hawa dingin membuatnya harus mengusap tangannya berulang kali. Sekelebat bayang masa lalu kembali menghampirinya. Gelap seperti langit sore itu.

Matanya kosong tak menemukan fokus. Bayang – bayang ibunya menguasai fikirannya. Ia teringat sosok wanita yang hanya sebentar saja ia kenal. Sedikit ingatan mengenai masa lalu. Bagaimana wanita itu selalu menyiapkan sarapan ketika ia selesai dimandikan. Memeluknya dengan erat ketika ia menjadi sangat ketakutan karena petir yang makin cerewet.

Hujan sesekali nampak mulai membasahi kaca jendelanya. Tetesan air seperti berlomba mencuri perhatiannya. Saling menyusul ke tepi jendela. Dingin makin menembus kulitnya yang hitam manis. Ia makin merapatkan tubuhnya, seolah menghalang dingin itu untuk bertambah masuk.

Ibunya adalah seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah dasar di kampungnya. Ia terkenal ramah di kalangan muridnya. Perangainya santun dan selalu tersenyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Anak – anak sangat senang ketika ia masuk ke dalam kelas.

Ibunya pun sering bersilahturahmi ke tetangga – tetangga disekitar rumahnya. Ia pun senang membantu jika ada tetangganya yang kesusahaan. Tak heran kalau ia menjadi begitu sangat disenangi di lingkungan tempat ia tinggal. Pamannya juga pernah bercerita kalau ibunya juga sering membuka diskusi untuk para perempuan – perempuan muda mengenai perlunya pengetahuan tentang kesetaraan hak agar mereka tak hanya tinggal dirumah sekedar mengurus wilayah dapur, kasur, dan sumur. Bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan para kaum pria.

Setiap sore, Laksmi kecil sering melihat ibunya keluar rumah untuk bercerita dengan para perempuan – perempuan muda tersebut di balai desa. Usahanya terlihat berhasil dengan meningkatnya jumlah perempuan yang kembali melanjutkan sekolahnya bahkan sampai ketingkat perguruan tinggi.

Hujan makin keras mengetuk kaca jendelanya. Laksmi masih diam di tempatnya. Makin teringat ibunya. Rumah – rumah nampak bercahaya dari kejauhan. Samar ia melihat di sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya, seorang anak kecil mengelayut di kaki ibunya yang sedang memasak.

Tiba – tiba matanya berembun, seperti kaca di depannya. Perlahan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Waktu itu, desember hampir selalu ditemani hujan. Udaranya dingin.

Waktu itu, saat hujan turun pada desember yang lalu, Laksmi merasa sangat ketakutan. Hujan belum juga turun, tapi petir semakin galak menggertak. Ia mulai merasa takut. Tapi semuanya tiba – tiba berubah. Tangisnya mulai mereda takkala ibunya mebelai ubun – ubun Laksmi. Mendekapnya dengan erat di dadanya yang hangat. Laksmi menatap mata ibunya dengan perlahan. Mata yang selalu penuh dengan kehangatan. Mata yang selalu memberinya semangat. Ibunya tersenyum.

“apa yang membuat mu takut ?” kalimat itu langsung masuk ke telinga Laksmi.

Laksmi belum menjawab, ia masih merasa takut kalau omongannya sampai terdengar sampai ke langit yang masih saja galak.

“ Ibu akan selalu menemanimu” seketika ibunya menambahkan.

Makin erat saja pelukan Laksmi ke ibunya. Dengan perlahan ia sapu rambut anaknya, sambil sesekali mencium ubun – ubun Laksmi kecil. Laksmi seketika merasa aman. Ibunya membaringkan Laksmi di tempat tidurnya. Di tariknya selimut sampai menutup ke dada Laksmi kecil. Ibunya duduk di tepi ranjang. Tak ada kata – kata lagi setelahnya. Mata laksmi kecil menatap mata ibunya dengan dalam. Seperti mengucap mantra, Laksmi kecil langsung menutup matanya.

Laksmi membersihkan air yang berhasil menembus jendelanya. Dari rumah yang tak terlalu jauh itu, ia tak melihat lagi sepasang anak beranak itu disana. Tapi jelas kehangatan yang ia rasa disana.

Hujan masih menemani tidur laksmi kecil di kamarnya. Seketika petir menyambar dengan keras menghentak bumi. Seperti hendak menyumpahi sesuatu. Dari jendela kamarnya, ia melihat sesuatu yang bercahaya dari luar jendelanya. Laksmi hanya bisa diam melihat apa yang terjadi di depan matanya. Matanya tiba – tiba meneteskan air mata. Empat orang laki – laki yang bertubuh besar mendorong ibunya sampai terjatuh. Mereka menggunakan seragam dan lars panjang. Ia melihat ibunya di tarik dengan paksa masuk ke dalam truk yang di dalamnya berisi banyak orang yang kelihatan babak belur seperti ibunya. Matanya tak sempat berkedip melihat peristiwa yang terjadi di depan matanya. Sekali lagi mata mereka saling menyapa. Mata yang selalu memberi semangat kepada laksmi kecil. Mata yang dipenuhi kehangatan seorang ibu. Laksmi kecil tak beranjak dari tempatnya berdiri.

Ayahnya sudah dari sebulan yang lalu tak lagi ia jumpai. Beberapa kali ia melihat ibunya membaca sebuah surat yang ia tak tau siapa yang mengirim surat itu. Ibunya juga tak pernah juga bercerita dengan jelas kemana ayahnya pergi. Hanya sempat sekali ia mendengar dari dalam kamarnya,seseorang yang mengantarkan surat itu mengatakan “Blitar” dengan sangat hati - hati.

Sejak peristiwa itu, Laksmi kecil tak pernah lagi melihat ibunya. Ia kemudian dibawa kerumah pamannya. Laksmi kecil jadi jarang berkata – kata. Ia selalu bersembunyi dan menjadi sangat ketakutan kalau melihat orang mengenakan seragam di jalan.

Ia masih ingat ketika ia masih kanak – kanak dulu, saat ia masih duduk di bangku kelas 5sekolah dasar. Para ibu melarang anak – anak sebayanya untuk bermain dengannya. Bagaimana mata – mata itu terus melihat kearahnya dengan tatapan yang tajam seolah menelenjangi. Bagaiamana ia menjadi sangat asing dan terasingkan.

“coba lihat anak itu !” seorang ibu menunjuk laksmi kecil yang sedang duduk di bangkunya.

“kenapa ia masih ada disini ?” ibu lain menimpali

“mestinya ia tidak boleh lagi bersekolah disini ?”

“tetangga saya ada yang juga ikut diciduk karena sering ikut dengan ibunya dulu”, kata salah seorang ibu.

“sebaiknya jangan dekat – dekat dengan keluarga mereka, bisa – bisa kita juga ikut dibawa – bawa”. Kata seorang ibu dengan telunjuk yang mengarah ke laksmi kecil.

Tidak ada seorang anak pun yang diizinkan duduk di sebelahnya. Para guru pun seperti itu, seolah mengangapnya hanya pajangan disudut ruang kelas. Saat bel istirahat berbunyi pun ia masih duduk ditempatnya. Tidak seorang pun yang mengajaknya bermain. Laksmi kecil bak sebuah kuman yang dianggap dapat menyebarkan penyakit yang sangat mematikan jika ada seseorang yang berdekatan dengannya.

Tiba – tiba udara menjadi sangat dingin. Meski tak ada lagi petir yang menyambar. Tanah mengeluarkan bau yang khas setelah hujan. Laksmi berjalan ke sebuah lemari dekat dengan ranjangnya. Ia mengambil selembar kain yang biasa dipakai oleh ibunya. Dibungkusnya tubuhnya dengan kain itu. Rasa hangat mengalir dari dalam tubuhnya. Laksmi kembali menangis seperti anak kecil. Ibunya kembali memeluknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun