Peramuan Penatua: Gembala Seni Rupa Indonesia
Kembali membaca artikel para tetua gembala seni rupa Indonesia di buku Apresiasi Seni 1985. Pertemuan dalam bentuk sarasehan (diskusi)- (masih) menyoal peramuan formula dalam mengidentifikasi karya seni rupa, khususnya karakteristik karya seni kedaerahan atau etnik. Diskusi kemudian dirangkum dengan tema "Seni Rakyat Yang Kreatif" tersebut ditulis Dan Suwarjono, penyunting Sri Warso Wahono. Dihadiri; Dan Suwarjono, Abbas Alibasyah, Hardi, Agus Djaya, Kusnadi, Amrus Natalsyah, Nashar, dan Sri Warso Wahono.
Diskusi para Penatua yang dihimpun dalam 33.779 karakter huruf, 12 laman words, diskusi para tetua dibuat lebih ringkas dari makalah-makalah ilmiah, karya tulis pada era puncak pencapaian sains abad modern. Albert Einstein menulis makalah ilmiahnya tentang Teori Relativitas Khusus 30 halaman. Disertasi John Nash tentang Teori Permainan 28 halaman. Makalah ilmiah Teori Ketaklengkapan karya Kurt Godel sekira 35 halaman. Buku Tractatus Logico Philosophicus karya Ludwig Wittgenstein 60 halaman. Semuanya ditulis secara ringkas dengan pembuktian argumennya menggunakan bahasa formal logika dan matematika. Padat, kaya makna, dan luas dalam jejaring koherensi teoritik adalah beberapa ciri penting karya-karya saintifik dan filosofis mereka.
Mengapa diskusi (pemikiran) para Penatua, Gembala Seni Rupa Indonesia dirangkum lebih singkat, ringkas, dan padat dari para pemikir kelas dunia? Mungkin; untuk menuliskan kedalaman dan keluasan persoalan terkadang sama sekali tak memerlukan seribu halaman buku, melainkan cukup dua belas halaman saja, atau malah hanya beberapa lembar laman. Karena, sekali lagi (mungkin), para Penatua berpikir; membincang senirupa berbeda dengan menghimpun, dan memahami karya tulis saintifik dan filosofis. Metode dan basis koherensi seni rupa memang berbeda dan sudah teruji sejak ratusan tahun lalu. Penatua, para gembala seni rupa Indonesia (mungkin) paham betul perihal ini dan sudah mempraktekkannya sendiri.
Tetapi jika ada orang yang beranggapan bahwa belajar mencipta karya seni dalam kebudayaan di Timur tak ada ilmunya, dengan bantahan: "Banyak seniman besar awalnya berbekal dengan sedikit pengetahuan seni (otodidak)." Di atas saya menunjukkan bahwa setiap studi seni ada metodenya, ada ilmunya, bahkan sudah sejak ribuan tahun lalu dipergunakan. Jika ada yang merasa dan bangga menjadi "orang Indonesia", maka mestinya juga percaya bahwa "tak ada cara instan untuk menjadi seorang seniman di Indonesia".
Dalam pembacaan saya, menyoal perjamuan tetua, meskipun hanya diikuti delapan Penatua-menurut pengamatan dari aspek pendalaman diskusi itu, mereka seolah sedang berupaya keluar dari jerat narasi-narasi besar yang telah menghagemoni mayoritas pemikiran manusia selama berabad-abad. Narasi-narasi besar yang dibentuk oleh semacam epistemologi (atau episteme) yang berusaha mengunci setiap kepastian di dalamnya. Semua ketakpastian harus keluar dari ruang epistemilogis. Namun, para Penatua justru melihat bahwa semua itu tidaklah pasti, ada semacam kegamangan yang samar-samar dalam narasi-narasi di saresehan itu, yang terus mengikuti serupa bayang-bayang tubuh, semacam makna yang minta ditunda. Mencoba memainkan wacana perihal ketakpastian dalam cara berpikir untuk menandai karya etnik (kedaerahan).
Inovasi, baik di dalam seni maupun sains, mesti memiliki landasan teoritis yang kokoh, sehingga dengan itu orang yang memiliki kompetensi---siapa pun orangnya---bisa mengujinya. Hasil dari pengujian itu hanya ada dua, yaitu: terbukti inovatif atau tidak terbukti inovatif. Oleh karenanya, sebuah klaim inovasi di dalam seni memiliki landasan teoritisnya. Di dalam seni, ketika pelukis post-impresionis Paul Cezanne dari Prancis pada abad ke-19 menyanggah teori seni lukis realis yang dibangun oleh prinsip satu perspektif, maka Paul Cezanne mengeluarkan teori dual-perspektif. Kemudian teori dual-perspektif ini menginspirasi Pablo Picasso untuk menciptakan teori multiperspektif dalam seni lukis kubisme.
Ketika para Penatua masih membincang soal seni kedaerahan dan masih bertahan menyoal tehnik melukis dan lain sebagainya yang melingkupi originalitas karya seni dan proses seseorang menjadi seniman, baru-baru ini saya membaca pemberitaan konten yang saya amati di Media Sosial yang diliris oleh VOA, sebuah flatform berita online. tayangan tersebut membuat saya tertegun dan cukup mengejutkan. Bagaimana tidak membuat saya tertegun dan bergumam pada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang bocah dua tahun bisa menghebohkan pasar seni dunia. Sedangkan bocah tersebut belum melewati proses pendidikan seni yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Dan yang lebih mengejutkan, lukisan yang dibuatnya telah menarik minat para kolektor seni untuk membelinya dengan harga yang fantastis. Beberapa karyanya telah ditawar para calon pembeli dengan harga 10 ribu-270 ribu euro atau setara dengan Rp.173 juta-Rp.4,6 miliar.
Akun Instagram dan situs web laurent.art yang memamerkan karya pelukis cilik itu kini memiliki puluhan ribu pengikut. "Saya merekam video dia saat melukis, karena menurut saya itu sangat lucu. Seorang bocah lelaki yang sudah bisa menghasilkan lukisan yang luar biasa," kata Lisa Schwarz, ibu Laurent.
Lukisan-lukisannya sudah dipamerkan di 'Art.Muc' yang merupakan sebuah pameran seni terbesar di Munich, pada bulan April lalu. Dan pameran tunggalnya direncanakan akan digelar pada September mendatang.