Oleh : Ipon Bae. Senja telah tunai, malam hampir memuai. Kalong-kalong berhamburan menyambut senjakala yang tenggelam ke palung malam. Diremang kuta singgasana raja-raja. Lamat-lamat kepireng suantenepun pradangga kang den alunaken pesinden kemayu berpupur tipis penjemput riuh, berselendang riang. Bersimpuh di atas tikar pandan. Kertawara suluk Cerbonan mendaras jelas. Beberapa nayaga tampak mesra mencumbui gamelan. Menabuh gong. kecrek, saron, kedemung, kenong, ketuk dan kendang. Perawa begitu terasa diiringi lengkingan suara seruling. Sesajen panggung dari aneka juadah pasar dan kepulan asap kemenyan sebagai layang kumandang. Seorang penari topeng meliuk-liuk gemulai mengikuti alunan gamelan. Penduduk desa, gede, cilik, kesepuhan dan nonoman asyik menyaksikan gladi resik pementasan sendra tari di pelataran Keraton Katjirebonan yang akan digelar Sanggar Seni Sekar Pandan esok hari. Kendati begitu, para pengendara di seberang jalan sepertinya tak terusik tarian-tarian yang akan dipentaskan. “Malam ini terakhir kita latihan,” kata Elang Komarahadi salah satu sesepuh Sanggar Seni Sekar Pandan kepada nayaga, pesinden dan penari. Elang Komarahadi berdiri dibawah payung kropak sambil sesekali tangannya mengutak-atik telepon genggam, beberapa kali pula memencet tombol kirim. Elang Komarahadi yang juga ketua Sanggar kembali berkata. “Kita harus tampil lebih bagus ketimbang pementasan tahun lalu, karena pementasan kali ini sangat penting diusia Sanggar kita yang kesembilanbelas,” tandas Elang Komarahadi. “Bagaimana kalau tiba-tiba hujan. Apa kita juga jadi tampil?” tanya Raden Inu Kertapati menyiasati perkataan Elang Komarahadi. Elang Komarahadi menghisap rokoknya dalam-dalam. Kepulan asap menyeruak naik ke atas. Lalu memasukan tangannya kedalam sarung, menggaruk-garuk pantatnya yang gatal. Pikiran Elang Komarahadi menerawang jauh, pada zaman para leluhurnya. Mereka tak peduli hujan atau sepi penonton, pementasan sendra tari pasti dilaksanakan. Justru dengan adanya gegedug tersebut, semakin memacu untuk mementaskan. Maka pada hari Sebtu pon tanggal pitu sasih gangsal kali ewu sewelas. Jumadil akhir sewu kawan atus tigang dasa kali Hijriahjam wolu dalu. Itulah hari yang sudah menjadi ketentuan setiap tahunnya mementaskan kesenian yang telah melebur pada jiwa dan anggota sanggarnya. “Harus dilaksanakan. Acara ini merupakan salah satu guyub bagi warga Cirebon,” kata Elang Komarahadi serius. “Kita masih ingat leluhur kita, Pangeran Haji Riadili Artaningrat. Beliau berpesan, berkesenian tak boleh surut, kendati gledek menggelegar atau Ciremai mengamuk,” tandasnya mantap. Warga sekitar yang berkumpul sedari tadi di bawah panggung duduk klemprakan hanya manggut-manggut. Seolah memberi isyarat mengiyakan ucapan Elang Komarahadi. “Kalau tak jadi pentas, berarti sudah menyalahi aturan. Itu pertanda kita sudah tidak patuh lagi dengan adat dan petatah-petitih pendahulu kita,” kata Ratu Leila, seorang pelatih tari. Malam semakin pergi. Angin dingin turun menyelimuti mata sampai ke ruang prabayaksa, menawarkan kantuk. Orang-orang yang duduk bersila terus menghisap rokoknya dalam-dalam untuk menghangatkan badan. “Wah, apa mau hujan. Kok dingin banget,” ujar Elang Eling. “Iya, Lihat saja mendung seperti telah menggulung rembulan,” kata Elang Esperinggo. menimpali ucapan Elang Eling. Malam semakin murung. Hujan muncrat dari langit. Namun, alunan gamelan dan suluk Cerbonan terdengar bertalu-talu. Para nayaga malah tampak makin bersemangat. Mereka seperti tak hiraukan guyuran air hujan yang mengenangi alun-alun serta dinginnya malam. Apalagi mereka ingat bahwa pementasan kali ini bukan hanya apresiasi anggota sanggar tapi juga eksistensi budaya masyarakat Cirebon. Malam berjalan perlahan. Hujan telah reda. Orang-orang bergerombol pulang sambil berjingkat-jingkat menghindari jalanan yang digenangi air hujan. Mereka berjalan menerobos gelapnya malam. Malam tanggal 7 Mei pun tiba. Terlihat di sepanjang jalan para penjual makanan dengan penerangan lampu petromak sudah menggelar dagangannya. “Pasti nanti pergelaran akan sukses. Lihat saja, banyak orang bergerombol di jalan. Mereka pasti akan menonton kita,” ujar Raden Tomi, yang berperan sebagai Bima itu tampak senang. Malam bergulir. Pesinden dan dalang duduk bersimpuh dengan para nayaga di panggung. Kemudian, gamelan mengalun perlahan. Mereka sepertinya telah terhipnotis dengan suasana sakral yang mulai terbangun. Apalagi ketika lampu panggung berwarna-warni mulai disorotkan. Ditambah tiga sinden, berwajah kemayu menembangkan kertawara merdu, memicunya makin bersemangat. Pementasan diawali dengan pementasan tari topeng kelana kemudian tari telik sandi, jaga regol, jaga bayan, sekar keputren dan tari manggala yudha. Tibalah saatnya pertunjukan puncak acara wayang wong dengan lakon: Bima Suci atau Dewa Ruci yang mengisahkan tentang petualangan Bima dalam pencapaian tirta pawitra atau proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan “Sangkan Paraning Dumadi”. Sebuah lakon pengabdian seorang murid yang berserah diri jiwa dan raga untuk menemukan air suci. Titah gurunya, Bengawan Dorna. Kendati tontonan ini gratis, hanya segelintir orang saja yang menyaksikan pertunjukan tersebut. “Saya tidak mengira sama sekali, penonton hanya sedikit,” kata Elang Tomi, pemeran tokoh Bima kepada Ratu Leila. “Iya, katanya di kampung tetangga ada yang melaksanakan hajat walimah nanggap jogedan dangdut. Mereka lebih suka menonton organ tunggal ketimbang wayang wong,” kata Ratu Leila yang juga pemeran dalam cerita Bima Suci sambil membenahi selendangnya. Pukul 24.00 WIB, pertunjukkan selesai. Penonton satu per satu meninggalkan tempat. Elang Komarahadi merasa puas, kendati pertunjukan wayang wong sepi penonton. “Pantas saja, penontonnya sedikit, wong mendung, kok,” katanya kepada para pemain. “Acara pementasan cukup berhasil, kamu lihat sendiri kan tadi hujan gerimis tapi penonton tak beranjak. Berarti mereka sangat menghargai kesenian tradisional” katanya menyakinkan anggotanya. Sanggar Seni Sekar Pandan tak pernah menggambarkan atau menampilkan tokoh-tokoh pewayangan yang bernasib tragis ataupun lakon perang antar-Pandawa dan Kurawa dalam Perang Bharatayudha. Alasannya, mereka adalah bersaudara. Jadi, dicarikan lakon yang baik tanpa harus ada adegan permusuhan, apalagi pembunuhan. Khusus pada lakon “Perang Kembang” antara Cakil dan Arjuna, tokoh Cakil tetap dimatikan. Alasannya, Cakil melambangkan hawa nafsu angkara murka. Nafsu angkara murka itu wajib dibunuh dalam sanubari. Selama 24 jam, mereka menyatukan hidup dalam seni. Selagi pentas, kendati tak dilihat orang mereka tak kecewa. kesenian yang begitu dicintainya, menjadi suluh bagi barometer kekuatan budaya mereka. Mengaktualisasikan dirinya, mengajar nilai adiluhung dengan pentas cerita soal budaya dari teritis para wali. Mereka tidak pernah pesimistis kendati kesenian tradisional dianggap tidak punya masa depan. Karena itu, tiap kali mereka ditanya, raut ketidakyakinan akan kembalinya masa keemasan kesenian rakyat selalu muncul pada wajah-wajah mereka. Ketidakyakinan itu bukan tanpa dasar. Selama pertunjukan di desa lain, kadangkala hanya beberapa pementasan saja yang dipadati penonton. Berkesenian laku wajib bagi Sanggar Seni Sekar Pandan. Maka, tak heran bila grup keseniannya sering diundang keluar daerah. Mereka yang mengundang kendati tak jarang tidak dibayar. Jika mereka memberi, ya diterima. Kalaupun tidak, ya tidak jadi apa. Kenyataannya, permintaan untuk pentas datang silih berganti. Pantaslah jika dipapan yang tergantung di dinding tempat latihan tertulis jadwal pentas di daerah lain. Sewaktu Sang Sultan Katjirebonan memberi sambutan selalu memuji. “Saya bangga terhadap Sanggar Seni Sekar Pandan yang unik. Mereka tetap tabah ditonton barisan kursi kosong. walaupun jumlah penonton memang bukan satu-satunya ukuran untuk menilai sebuah kesenian. Bila kesenian lahir dari hati nurani, senimannyalah yang menentukan estetik seni itu, bukan penonton ataupun siapa saja.” Tegas Sang Sultan “Duh, Pegusten…Kami tidak pernah meminta lebih, pamali bagi kami. Sebab, singsapa wonge anguasi wini, bakal anguasi panguripane. Jangan pernah meminta. Karena, barang siapa menguasai bibit, dia akan menguasai kehidupan,” ujar Elang Komarahadi membalas pujian Sang Sultan dengan sungging senyum kecumik bangga. Mengembang bagai sekar pandan*** Harian Pagi Tribun Jabar 16/10/2011 Ipon Bae, adalah penulis lepas. Pegiat di lembaga basa lan sastra Cirebon (LBSC). Anggota KITLV Press (Koninkiljk Instituute Voor tall-Land-enVolkenkunde) Indonesia-Netherlands. Sebuah lembaga penelitian berwenang yang berfokus pada Asia Tenggara khususnya Indonesia dan wilayah Karibia terutama Suriname, Netherlands, Antiles dan Aruba. Penelitian KITLV mencakup ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Berkisar dari sejarah kolonial sampai isu-isu sosial masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H