Mohon tunggu...
Ipon Bae
Ipon Bae Mohon Tunggu... profesional -

Ipon Bae adalah seorang penulis lepas, Pegiat bahasa daerah dan budaya lokal.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

GADIS BERKACAMATA

5 September 2010   14:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ipon Bae

UDAH LAMA jadi tukang foto keliling, Mas?” perempuan muda berkacamata itu bertanya saat aku mengantarkan hasil foto dirinya.

“Lumayan, Mbak,” ku jawab dengan santun, sambil menyerahkan uang kembalian.

“Ganteng-ganteng kok, jadi tukang foto keliling, Mas?”

Tanya perempuan muda itu lagi. kupikir ini pertanyaan aneh. Baru kali ini aku mendapat pertanyaan ‘sumringah’ begini!

“Habis mau ngapain lagi, Mbak saya cuma bisa motret!”

“Sudah menikah?”

Walah! pertanyaan apa lagi ini?

“Belum.”

“Belum menikah kok  cari uangnya gesit banget, Mas?”

“Daripada nggak ngapa-ngapain, Mbak. lagian, biar belum menikah, saya kan perlu makan!”

“Memangnya gak ada kerjaan lain? dulu sekolahnya  sampai mana, sih?”

Ini lagi! pertanyaan menyebalkan! apa dia nggak tahu kali ya, nyari kerjaan itu susahnya minta ampun! Apalagi nggak ada koneksi! mana pake tanya-tanya sekolah segala! tapi kalau dia tahu aku ini mahasiswa, aku bisa-bisa dihinanya! mahasiswa kok, jadi tukang foto keliling!

“Eh, tadi kok belom  jawab pertanyaan saya?”

“Apa ya, Mbak?”

“Oh my god! Itu tadi, kenapa si Mas gak kerja yang lain aja? terus, emang sekolahnya sampai dimana?”

“Ah, Mbak! Kenapa si pakek tanya-tanya segala? emangnya… kalo sekolah kenapa, kalo nggak… kenapa?”

“Ditanya kok malah nanya?”

***

Aku anak Cirebon yang kuliah di kota Bandung. setahun lalu kehidupanku nyaris bangkrut! hidup mengontrak jauh dari orang tua. kiriman orang tua macet. kontrakan nunggak! belum lagi buat bayar SKS. mumet endas-e blenger! Bits, itu satu tahun lalu! sekarang, setelah jadi tukang foto keliling, semuanya bisa diatasi.

Aku beruntung waktu itu ketemu Kang Popon. dia yang minjemin kamera saku buat belajar motret. setelah itu aku beranikan diri nyewa kamera itu untuk mencari pelanggan dengan berkeliling dari gang ke gang. lumayan, minimal dalam satu hari motret bisa dapat dua puluh lima ribu, itu belum di potong biaya cetak di studio foto Kang Popon. Kalau mujur bisa lebih. Nah, sisanya kugunakan buat gali lobang tutup lobang. Untung nggak punya pacar! Coba kalau seperti anak-anak kampus lainnya. bisa modar! Hehe, lagian siapa si yang mau pacaran sama tukang foto keliling kayak aku ini? Meski mahasiswa berhidung bangir, juga tukang foto keliling!

“Akang salut sama kamu, Bag! Akang rasa di dunia ini Cuma kamu mahasiswa yang mau jadi tukang foto keliling!”  puji Kang Popon waktu itu, saat berada di studionya.

“Habis mau ngapain lagi, Kang! Kalo orang tua saya kaya, saya nggak perlu jadi tukang foto keliling!”

“kamu kan anak Cirebon darah biru, tanahnya luas!”

“Emangnya anak Cirebon berdarah biru seperti saya gak boleh kuliah tanpa harus jual tanah, Kang! Lagian, keluarga saya udah tidak punya tanah lagi, Kang! tinggal serumah-rumahnya. Bapak saya Cuma jadi pemandu tamu di keraton. Ibu jualan nasi lengko!”

“Biasanya keturunan darah biru gengsinya gede!”

“Ya nggak semuanya, Kang! Kalo mikirin gengsi, sejak dulu keluarga saya mati!”

Sejak kecil aku tak pernah nresula atau gengsi dan terbiasa puasa senin kemis,  Kelas tiga SD, aku berjualan kantung plastik eceran di pasar kanoman. Kadang nguli membawakan belanjaan orang. Setelah masuk SMP, aku jadi penjual Koran dan majalah bekas, mangkal  di depan pusat perbelanjaan grage mall. Itu berlangsung sampai kelas dua SMU. Akhirnya orang tuaku mengirimku ke Bandung. aku di titipkan di rumah bibi, sampai lulus SMU.

Ketika kuliah aku memilih mengontrak. Aku kuliah jurusan sastra pada sebuah universitas  di kota bandung!  aku sengaja mengambil kelas malam, biar siangnya bisa kerja. ternyata cari kerja susah! pernah ditawari kerja di pabrik, aku nggak kuat! habis kerjanya lembur terus, gajinya pas-pasan! ternyata jadi tukang foto keliling lebih lumayan. hanya saja, tempatku untuk mencari pelanggan itu tidak jauh dari kampusku sendiri! Uh, peduli setan sama yang namanya malu. semua anak kampus sudah tahu kalau aku tukang foto keliling. belum pernah kudengar mereka menghinaku. yang kudapat justru pujian.

***

Siang ini aku kembali berjumpa dengan perempuan muda berkacamata, dia minta dibuatkan foto profile Facebook. sebenarnya aku malas  harus memotretnya. takut ditanya-tanya lagi. Dan, benar saja.

“Eh nama Mas siapa, sih?”

“Kalo bisa jangan panggil abang, Mbak.” aku protes.

“Saya kan belum tahu nama kamu.”

“Nama saya Bagja Urip! saya biasa di panggil Bagja!”

“O, gitu. ternyata kamu satu kampus dengan Merti, ya?!”

“Kok, tau?’

“Merti  yang cerita.”

“Wah, si Merti! biang gosip…!” gerutuku dalam hati.

“Kamu ngambil sastra, kan? Mbak juga dulu sastra. sastra Perancis. kamu sastra apa?”

“Sastra Indonesia, Mbak!”

“Kenapa ngambil sastra?”

“Dulu saya ingin jadi pengarang!”

“Ingin jadi pengarang nggak harus kuliah di sastra. kamu suka mengarang?”

“Ya, kadang-kadang!”

“Mengarang apa?”

“Kadang cerpen, kadang puisi!”

“Wah, hebat kamu! sudah dimuat dimana aja?”

“Maksud Mbak?”

“Koran atau majalah apa saja yang pernah muat karangan kamu?”

“Saya belum berani mengirimkan karangan saya ke media, Mbak!”

“Wah, kamu! Bagaimana mau jadi pengarang? Mengirimkan karya saja tidak berani!”

“Malu, Mbak!”

“Malu?”

“Pake tulisan tangan!”

“Ngerental aja! rental komputer kan banyak.”

“Sayang uangnya, Mbak!”

“Tapi bisa ngetik kan!”

“Sedikit-sedikit!”

“Nanti deh, saya pinjemin laptop!”

***

Seminggu kemudian aku mendapat pinjaman laptop. Itu perempuan bener-bener perhatian banget! Bayangkan , dia membawa-bawa laptop itu dari tempat keluarganya di Jakarta ke Bandung! (Ah, kadang orang baik memang selalu ada! Kang Popon. Perempuan muda berkacamata itu!)

Tapi aku binggung, karangan seperti apa yang akan kubuat . tempo hari itu aku nggak pernah menulis karangan. Susah.

Setiap malam, selepas kuliah, setelah berjam-jam berada di depan laptop pinjaman itu, aku selalu binggung harus mengarang apa. berlembar-lembar halaman di Microsoft Word habis keluar masuk, memerah imajinasi. hasilnya nihil. akhirnya aku menyerah. biasanya aku memilih tidur saja. Capek!

***

Pagi ini, setelah mengantar hasil foto sesesorang, perempuan muda berkacamata yang meminjamkan laptopnya itu menghubungiku via handphone, dia minta untuk mengantarkan hasil fotonya yang kemarin. setelah menerima  fotonya dia menanyakan soal karanganku!

“Sudah jadi karangannya?”

“Belum, Mbak! Habis, susah!”

“Yang gampang-gampang aja!”

“Ternyata mengarang Nggak gampang,Mbak!”

“Siapa bilang? apanya yang susah? mengarang itu gampang, kok!”

“Mbak suka mengarang juga?”

“Dulu sih. sekarang sudah nggak. nggak ada waktu. habis , sekarang ini saja, semenjak perusahaan nugasin saya ke daerah ini, saya nggak punya waktu buat ngapa-ngapain.”

“Kalo saya sih waktu ada aja. Kalo kelas lagi kosong, saya bisa langsung pulang! Lagian, saya nggak pernah motret pelanggan malam hari, maklum saya hanya pake kamera pocket!”

“Ngomong-ngomong, kamu udah nyobain laptopnya, kan?!”

“Setiap malem, Mbak! tapi nggak selesei-selesei! bingung , apa yang mesti saya karang!”

“Katanya udah biasa mengarang?”

“Maaf Mbak, waktu itu saya bohong!”

“Jangan panggil Mbak dong! panggil aja Mel, Melyana nama saya sambil senyum sumringah!”

“Anak sastra nggak bisa ngarang malu, dong! Cerpen aja, dulu!” lanjutnya sambil memperhatikan foto-foto di album Facebooknya

“Iya. Saya udah nyoba! tapi binggung, mau ngarang soal apa?”

“Tadi saya udah bilang. yang gampang-gampang aja dulu.”

“Tentang diri sendiri?”

“Iya. misalnya, kamu seorang mahasiswa yang nyambi jadi tukang foto keliling! Unik kan?”

“Apa cerita kayak gitu layak, Mbak eh..Mel?”

“Jangan mikirin layak nggak layaknya. bikin aja dulu, terus langsung kirim.”

“Apa yang baca nanti percaya,  ada anak kuliahan yang jadi tukang foto keliling seperti saya?”

“Disitulah uniknya. oke! saya mandi dulu ya! nih, lima ribu kan?!” Ia sodorkan uang setelah mengupload foto hasil jepretanku untuk foto profile Facebooknya

“Nggak usah bayar, mbak! gratis aja!”

“Eh, kok…?”

Setelah perempuan itu bingung, aku lansung menggenjot sepeda otelku.

“Gratis, Mbak! saya mau pulang, mau ngarang, ah!”

Perempuan muda berkacamata itu terbengong-bengong. aku tak peduli. kugenjot sepedaku, menuju rumah kontrakan. setibanya di kamar kontrakan, langsung kubuka laptop itu, lalu memulai pencet-pencet keyboard. membuat karangan! aku tak akan bingung lagi. aku akan menulis cerita pendek tentang diriku sendiri dan mungkin tentang gadis berkacamata itu, entah apa nama kepanjangnya?!.

Judulnya apa, ya? Aha , gampang. akan kuberi judul: GADIS BERKACAMATA! ***

Cirebon 23 Juli 2010

*Ipon Bae penulis lepas tinggal di Cirebon*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun