"Halah mbelgedes, Ngibadah wae rak pernah... lha kok meh didadekke penolong... Eh tapi kan ngibadah rak kudu sholat. Nk jarene guru ngajiku siji kae, Sekali kw ngerasakke ikatan lahir batin karo Gusti Pangeran, kui iso disebut ngibadah. Sekali kw ngelakokke perbuatan, terus bar kui kw iso dadi bermanfaat kanggo makhluk liyone, kui kan ngibadah... Lho...lho... Aku nyinyir -nyinyir dewe, tak bantah-bantah dewe... Uasyuu tenan ncen nek ngene iki... Hwehehehehe... Ncen bener nk Tuhan Maha Asyik"Lanjut Nyinyiran Mat Midi sambil tertawa sendiri.
Atau mungkin, pada saat itulah para pemain teater itu mengambil jalan untuk meniada... Ketika keadaan sudah "mbuh"dan diluar kendali kita, saat itulah waktu yang tepat untuk melebur untuk menyatu dengan alam. Mengosongkan hati dan pikiran, Meng-ikhlas-kan lahiriah dan batiniah.
Seperti Kisah Rahwana (versi sujiwo tedjo dalam dwilogi Rahvayana) yang setelah penantiannya menunggu titisan Dewi Widowati yang mentitis ke Dewi Sukasalya, kemudian menitis lagi ke Dewi Citrawati dan akhirnya menitis ke Dewi Sinta. Pada penantian cinta Rahwana ke Dewi Sinta, Rahwana kalah perang melawan pasukan Rama, dan raga Rahwana diapit gunung kembar Sondara-Sondari. Tapi Tahukah bahwa Jiwa Rahwana terus hidup, Hidupnya menjadi gelembung-gelembung yang menyatu dengan alam. Menemani cintanya sang Dewi Sinta yang terusir di hutan.
Dari Ada menjadi meniada... tiada... Ada yang tiada... Melebur untuk meniada, Meniada untuk melebur menjadi satu dengan alam. Bukan untuk menghilang, bukan untuk mencari takdir baru, bukan untuk menghilang dan mencari yang baru untuk mengganti yang lama... Hanya meniada dan bersiap untuk pertemuan di waktu yang entah kapan. Nasib.
".........."Gumam Mat Midi
"Ada yang tiada... Salam..." Sahut Cak Chiku
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H