Mohon tunggu...
Ipmawan
Ipmawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tak perlu kita berjibaku mempertahankan fakta yang kita lontarkan, itulah kelebihan FIKSI

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jacob Oetama, Faizal Assegaf, Kebijakan dan Iklim Kompasiana

24 Oktober 2010   10:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:09 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hari ini, ditemani kopi bergelas-gelas saya mengenal seseorang yang bernama Faizal Assegaf. Dari sini pula saya mengenal Kompasiana secara lebih mendalam, dari sudut yang lain. Faizal Assegaf juga mempunyai akun di Kompasiana (maaf, gak pake link, search sendiri aja profilnya), tetapi dia sudah tak bisa login ke akun tersebut, seperti pengakuannya di Politikana di postingan ini, akses login penulis diblokir oleh admin kompasiana-alasanya tdk boleh kritik Jacob Oetama. Faizal Assegaf (FA) sejak pemblokiran akun memang kerap menyerang Jacob Oetama, pemimpin media Kompas, dimana Kompasiana bernaung. Tulisan yang disinyalir menjadi penyebab diblokirnya akun FA di Kompasiana ini berjudul "Jacob Oetama Bukan Guru Bangsa Indonesia" yang sudah dihapus admin Kompasiana. Disitu, FA menganggap bahwa JO tak pantas menyandang gelar Guru Bangsa, seperti kutipannya sbb:

Namun, selama 45 tahun mengambil posisi diam dalam mencermati sepak terjang Kompas adalah mustahil. Sebagai koran terkemuka di tanah air, yang memiliki peran strategis di ruang publik, Kompas patut diberi apresiasi. Media ini telah teruji tampil mewakili aneka ragam pendapat yang kaya akan informasi dan pengetahuan. Karena itu, Kompas dan berbagai peristiwa nasional memiliki hubungan yang saling terkait. Dalam pengertian penyaluran informasi dan komunikasi kepada khalayak ramai, termasuk faktor-faktor kepentingan di dalamnya. ------- Dari pijak itu, saya memandang bahwa, Jacob Oetama bukanlah guru bangsa, namun ia lebih tepat disebut sebagai “konglomerat pers”. Sebuah julukan yang sesungguhnya sejalan dengan keberhasilan Kompas sebagai sebuah media berbasis komersial (industri pers kapitalisme).

Di Kompasiana sendiri FA sempat menjadi kontroversi, bahkan pemblokiran akunnya diperdebatkan. Saya mengutip salah satu perdebatan itu dari tulisan Om Wijaya Kusumah:

Blogger sejati seharusnya mengedepankan sikap saling asah, salih asuh, dan saling asih,sehingga keberadaannya sangat disukai dan disenangi oleh sesama blogger. Memiliki kemampuan mendengar, merasakan, melihat, dan membaca dengan hati tanpa ada buruk sangka kepada sesama. Terus terang saya sangat menyayangkan akun saudara Faizal Asegaf diblokir oleh admin kompasiana. Tetapi itu semua dilakukan oleh admin yang bijaksana dengan pertimbangan yang matang karena banyak hal dari tulisan beiau itu yang menurut saya secara pribadi memang kurang pantas ditulis oleh seorang blogger sejati.

Memang setiap tindakan ada resikonya. Pemblokiran akun FA mungkin karena tindakan beliau yang kurang etis dalam melayangkan sebuah kritik atas pribadi seseorang. Akan tetapi pemblokiran akun FA sendiri juga mempunyai akibat bagi media Kompas, khususnya Kompasiana. Anggapan-anggapan miring tentang Kompasiana di negeri tetangga mulai menyebar. Kebijakan dan aturan Kompasiana dipertanyakan di negeri tetangga tersebut. yang menjadi pertanyaan, kenapa kritik itu ditebar di negeri tetangga? Bukankah ini masalah internal dalam negeri, kenapa dibawa ke negeri asing? Alasannya mungkin hampir sama seperti RMS yang menggugat SBY di negeri Belanda. Kritik di dalam negeri tidak bisa diakomodasi. Soal tuduhan FA bahwa JO adalah konglomerat Pers, atau antek CIA, atau bahwa Kompas adalah sebuah industri pers yang dibangun atas dasar semangat kelompok dan kapitalisme perlu sebuah investigasi lebih lanjut. Tapi tak bisa disangkal bahwa Kompas selalu bertahan dalam setiap rezim berkuasa di negeri ini. Sebagai sebuah media yang sudah sebesar Kompas ini, suara negatif tentunya sudah biasa. Apalagi di era demokratis seperti sekarang ini. Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Kembali tentang Kompasiana, di negeri seberang yang selalu mengusung demokratisasi, Kompasiana ibarat sebuah negeri komunis dan anti demokrasi. Lihat saja komentar-komentar di sini. Bahkan, mereka membandingkan Kompasiana dengan negerinya ibarat Korut dan Korsel. Saya masih baru di negeri Kompasiana ini, saya cinta Kompasiana, saya langganan koran Kompas, dan saya sering mengirim artikel ke koran Kompas (walaupun belum pernah dimuat) tapi saya juga merasakan seperti yang dirasakan di negeri seberang. Tentunya, sodara sekalian masih ingat tentang kasus Astree Hawa yang mengkritik dengan pedas ide pembuatan buku fiksi Kompasiana bukan? Dia mendapatkan kritik habis-habisan. Sebuah judul pedas dengan ratusan komentar yang lebih pedas. Pada akhirnya saya menyadari, Kompasiana walaupun untuk publik tapi bukan milik publik. Kompasiana tetap milik sebuah korporat yang juga memiliki Kompas, yang tentunya memiliki keinginan. dan jika keinginan kita berbeda, ya kita harus legowo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun