Kemarin ketika perawat Elza menggantikan botol infuse yang telah habis lalu pergi tinggalkan aku dengan anakku sendirian. Aku terus menatap wajah anankku, hari beranjak malam, ibunya juga telah datang membawakan kami makan malam, ada telur rebus kesukaan anakku yang sudah hari ke tiga ini,sedikitpun tidak di makan, Sisca,ibunya setia menyiapkan pagi, siang dan malam.aku mulai sama dengan anakku,teronggok sepertinya dalam penampungan, sesak rasanya.
Lewati malam dengan sedikit renai gerimis diluar sana,mata sedikitpun enggan terpejam.pagi ini,hari ini, setia memperhatikan wajah,nafas anakku yang mulai satu-satu. Galau,risau,perih,sedih mulai merasuki kalbu akalku.hari ini, pagi menuju siang dan kemudian malam,adalah suatu penantian panjang akan mata anakku untuk sedikit membuka menatapku, akan meronanya senyum anakku padaku.
Ku tetap simpan asaku di langit-langit kamar rumah, tempat kami pernah mesrah berbincang,tawa ria, yang kini mulai tumbuh menjadi ruang yang kosong ,hampa, bisu.ataukah aku harus gali kubur kami berdua dan kemudian kutancapkan dua tonggak kayu . jawabannya hanya ada pada yang empunya kehidupan. Suasana batinkupun mulai haru biru hari ini,sepuluh tahun lalu.
Cerita tanpa ramu, demi menghormati anakku Elan. Semoga Engkau hari ini telah tersenyum ramah disana, tidak seperti sepuluh tahun lalu, ketika Engkau masih disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H