Bilamana Merah Putih Rasa Malaysia itu ada di Malaysia, itu adalah wajar, karena bisa saja merah putih itu berkibar di kedutaan atau di konjen RI di Negeri Jiran sana, tetapi bilamana merah putih rasa Malaysia itu ada diwilayah Indonesia, akan timbul petanyaan, kok bisa ? kehadiran Negara dimana ?
Itulah kenyataan yang masih saja berlanjut sampai sekarang ini, dibawah judul tulisan " Ringgit masih menjajah di Sebatik " salah satu harian besar dinegeri ini terbitan Sabtu tanggal 04 Januari 2014 memberitakan bahwa Sebatik itu masih tergantung dari Malaysia yang bertetangga dekat, banyak kebutuhan hidup disana dipasok dari Tawau Malaysia, dampaknya alat pembayaran yang berlaku umum adalah uang ringgit Malaysia, sedangkan rupiah hanya sabagai pendamping.
Lebih lanjut diberitakan bahwa kenyataan itu ditemui ketika menjambangi pasar tradisional sungai nyamuk di sebatik, salah seorang pedagang yang ditemui mengatakan bahwa boleh membayar dengan rupiah dan juga boleh membayar dengan ringgit, begitu juga barang dagangan yang dijual diwarung dan ditoko-toko, berasal dari kota Tawau Malaysia, sehingga produk Malaysia merajai diperjualkan.
Penulis pernah dua tahun bolak balik Nunukan Tawau dan Sebatik, itu dijalani pada awal tahun dua ribuan sampai dengan pertengahan tahun dua ribu dua. Kondisi seperti diatas sudah penulis temui juga, namun karena waktu itu negeri ini baru saja terlepas dari rezim orde baru yang sangat tertutup, maka penulis dapat memaklumi kenyaataan Malaysia merajai Sebatik.
Pada waktu itu dapat dikatakan bahwa pemerintah telah sengaja abai dengan kewajibannya untuk hadir diberanda depan negeri ini, fasilitas bbm/Pertamina, listrik/PLN dan sarana komunikasi/telkom yang merupakan kewajiban utama pemerintah untuk melayani dan menyatukan negeri ini, belum tersedia sama sekali, sekolah negeri baru sampai tingkat smp dan itu juga satu unit, belum ada bank nasional yang beroperasi disana, status pemerintahan baru ditingkatkan menjadi kecamatan, sebelumnya masuk kecamatan Nunukan yang berjarak tempuh setengah hari perjalanan melalui laut ataupun darat, fasilitas jalan raya sangat minim dan pengaspalan jalan raya disekitar sungai nyamuk, pengadaan sarana penginapan satu hotel berlantai sembilan berfasilitas kolam renang dan lapangan tenis, serta pengadaan fasilitas listrik disediakan oleh perorangan, begitu juga pembangunan dermaga kayu sepanjang lima ratus meter ketengah laut, juga difasilitasi oleh perorangan yang sama.
Investasi untuk berbagai sarana itu berbiaya milyaran rupiah dan jauh dari keuntungan karena Sebatik belum menjadi tujuan bisnis. Ketika penulis iseng menanyakan tujuan perorangan itu melakukan investasi besar tanpa berharap keuntungan, yang bersangkutan menjelaskan supaya Sebatik tidak gelap gulita dikala malam yang berbeda jauh dengan Tawau diseberangnya yang masih dalam pandangan mata.
Penulis kaget dan kagum dengan jawaban itu, sebab ketika penulis mencoba mengusulkan pemasangan Line Chanel ( LC ) untuk sambungan telepon kepada petugas intansi bersangkutan yang ada di Nunukan, diperoleh jawaban bahwa belum ada program dari pusat, dan begitu juga ketika penulis mengembangan bisnis perbankan ke Sebatik itu, juga tidak mendapat dukungan resmi dari dinas yang bertanggung jawab. Alasanya berbiaya mahal, dan seakan sengaja mengabaikan kewajiban untuk hadir diseluruh wilayah Indonesia, Dengan kondisi itu pantas saja rupiah belum berdaulat di Sebatik sana, sebab perbankan yang berkewajiban mengedarkan rupiah tidak hadir disana.
Keseharian Sebatik waktu itu tidak beda jauh dengan Tawau, cakapnya saja berbahasa Malaysia, siaran tv berasal dari chanel 5 tv Malaysia, aktivitas kehidupan dan kesehatan bergantung pada Tawau, sehingga dengan kondisi itu masyarakat disana sering berkata bahwa " Bendera boleh saja merah putih tapi keseharian kami adalah Malaysia, Indonesia bisa saja ibu pertiwi, tetapi Malaysia adalah bapak pertiwinya.
Setelah berlalu sepuluh tahun lebih meninggalkan Nunukan serta Sebatik, penulis dikagetkan lagi dengan berita berjudul " Ringgit Masih Merajai di Sebatik ", lalu perasaan ini tercenung dan bertanya sendiri " selama itu kok belum menjadi Indonesia seutuhnya, pemerintah kemana ?" , jadi ingat kembali dengan yang dikatakan masyarakat disana " Bendera boleh saja merah putih, tetapi keseharian kami adalah Malaysia, Indonesia bisa saja ibu pertiwi, tetapi Malaysia adalah bapak pertiwinya ". Salahkah bilamana masyarakat disana berkata begitu ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H