Sekarang sudah bukan trend lagi program televisi secara stripping (setiap hari) pada jam yang sama ditayangkan. Pada awal kehadiran Indosiar 1995, program ini diperkenalkan dan sukses sehingga ini menjadi panutan program-program selanjutnya. Kuncinya adalah program tersebut diapit oleh program sebelumnya (lead-in) dan bisa mengangkat program selanjutnya (lead-out) agar tetap berating tinggi.
Rating dan share adalah dua senjata para sales dan marketing televisi agar mendapatkan kepercayaan dari pengiklan (advertiser) agar membeli slotnya pada jam tertentu. Dengan makin cerdasnya penonton peletakkan iklan tidak hanya pada slot commercial break yang jumlahnya bisa 3 atau 4 kali dalam tayangan 1 jam namun juga lewat built-in product atau eksposure produk yang bisa punya hubungan dan tak punya hubungan dengan program tersebut tapi karena terpampang pada body program tersebut.
Saat ini yang menjadi sorotan saya adalah program stripping televisi dalam non drama yaitu  Kuis Family 100 di Indosiar dan Kuis Superdeal ANTV.  Keduanya sudah diproduksi ribuan episode dan masih bertahan hingga kini. Aneka variasi dari format , peserta dan pembawa acara telah banyak bergantian saling bersinergi agar program ini tetap bertahan untuk ditonton. Dari kedua program tersebut Tukul Arwarna yang sudah lebih terkenal lewat program 4 Mata dan Bukan 4 Mata di Trans TV menjadi daya tarik karena komedian bertampang tidak biasa ini mampu membuat Family 100 tetap happening hingga hari ini. Uya Kuya pun juga mewakili hal yang sama dari seseorang berprofesi penyanyi, pesulap, mc dan sekarang jadi host seperti mewakili trend penonton Indonesia senang dengan yang lucu-lucu dan yang bikin rame.
Anda mungkin masih ingat host Famili 100  diwakili pria-pria dengan tampang urban macam Sonny Tulung, Darius Sinatrhya sedangkan Super Deal oleh Nico Siahaan, Aditya , Indra Bekti dan Indy Barends , namun saat ini diwakili oleh para tampang rural macam Tukul dan Uya Kuya.  Pergeseran ini memang menyiratkan adanya perubahan selera (taste) dan trend masyarakat  penonton membuat pengelola televisi terus berpikir karena metamorfosa penonton televisi unpredictable.
Dulu orang juga menganggap hadiah besar sebagai pemicu orang berpartisipasi dalam mengikuti program tersebut, dan itu ada benarnya saat program Who Wants To Be A Millionaire (WWTBAM) ditayangkan pada tahun 2000an. Cukup sukses program tersebut namun pada sesi selanjutnya program yang berganti tayang di stasiun tv lainnya ternyata tidak berdampak yang sama. Kemasan dan tampilan boleh sama namun ternyata penonton berubah, karena kuis Q & A ini sudah banyak yang berpindah dari trend menonton program berkualitas di televisi ke area pribadi seperti internet dan website-website keren lainnya. Tak pelak hasilnya terlihat sekarang program-program macam WWTBAM jarang ada di televisi karena ceruk penonton kelas ini sudah mendapatkan kepuasan dengan surfing di internet.
Bagaimanakah mendapatkan penonton yang setia menonton program yang diproduksi dengan baik dan penuh kesungguhan? Jam tayang, persaingan head to head dengan program lainnya, promosi yang mencukupi, Â punya hal yang baru untuk ditawarkan kepada penonton dan terakhir segmentasi yang tidak terlalu mekanis sehingga penonton "sudah tahu" kapan harus menzapping remote controlnya.
Masa depan pertelevisian Indonesia masih cerah karena orang Indonesia lebih senang menonton daripada membaca...sambil menyelam minum air...sambil menonton hiburan dapat informasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI