Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seberapa Cakap Manusia Indonesia?

15 September 2016   14:50 Diperbarui: 15 September 2016   19:54 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak bisa dipungkiri bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berkaitan erat dengan tiga hal pokok, yaitu pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Secara kasar, indeks yang dihitung adalah umur panjang karena hidup sehat, pengetahuan yang dimiliki serta kualitas hidup layak yang dijalani. Hasil IPM merupakan data yang sangat berguna dalam mengukur kinerja pemerintahan dalam membangun sumber daya manusia yang menjadi salah satu dari tanggung jawabnya. 

Saat ini metodologi perhitungan IPM disesuaikan dengan kondisi perkembangan pembangunan suatu negara seperti halnya indikator melek huruf (literate) sudah diganti dengan harapan lama bersekolah. Artinya, tidak ada hubungan antara melek huruf dan kualitas pendidikan. Hal lain Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengukur pendapatan secara lokal sekarang diganti menjadi Produk Nasional Bruto (PNB) atau pendapatan secara nasional.

Lewat metodologi baru yang mengukur rata-rata lama sekolah, dapat disimpulkan bahwa manusia yang cakap dan kompeten dianggap punya kemampuan untuk lama bersekolah, mencari ilmu, dan meraih gelar sesuai standar yang diberikan. Keahlian dan jam terbang seseorang standarnya adalah kesempatan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan ini tentu berkaitan dengan pendapatan yang diterimanya. 

Makin tinggi PNB suatu negara, maka makin banyak sumber daya manusianya lama bersekolah dan punya kemampuan mem-back-up pendidikannya karena pemerintah (yang makmur) akan memberikan subsidi (lebih banyak) pada dunia pendidikan/sekolah. Hal baru lainnya adalah sistem pengukuran baru yang menggunakan rata-rata geometrik menggantikan yang aritmatik sehingga lebih objektif karena pencapaian pada pos tertentu tidak dapat ditutupi oleh pos lainnya karena setiap pos sama pentingnya.

Mengingat hal tersebut, sangatlah bermanfaat akreditasi yang dilakukan setiap lima tahun sekali kepada sekolah dari SD hingga SMA untuk mengecek bagaimanakah sekolah mengelola dana, baik dari bantuan pemerintah dan swadaya masyarakat serta eksekusi manajemen sekolahnya. Sekolah negeri dan sekolah swasta tentu berbeda dalam alokasi dana sarana dan prasarananya karena yang pertama didukung pemerintah, sementara yang berikutnya lebih banyak mengandalkan swadaya masyarakat. 

Proses akreditasi yang telah dilakukan juga memperhatikan seberapa sejahtera dan berkeadilankah peran serta pemilik sekolah (yayasan), kepala sekolah, dan tenaga kependidikan (guru) dalam menjalankan fungsinya. Dilihat dari kesejahteraan, guru untuk sekolah negeri di DKI Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan sejumlah sekolah swasta yang masih di bawah UMR (Upah Minimum Regional), sekitar Rp 3.1 juta/bulan. Padahal, jumlah sekolah negeri dan swasta sama banyaknya dalam ikut serta memberikan pendidikan kepada masyarakat. 

Kita pun sepakat bahwa tidak ada murid yang bodoh, hanya bagaimana cara mengajarnya saja? Tapi bagaimana guru bisa mengajar dengan tenang bila kesejahteraannya tidak terjamin? Bagaimanakah guru bisa update dengan teknologi informasi saat ini seperti internet, bila beli pulsa saja tidak mampu? Dan bila ini terus terjadi memang layak kalau IPM Indonesia memang belum tinggi karena ada relevansi antara pendapatan dan kesempatan pendidikan. Hasil akreditasi memang akan memberikan masukan dan pandangan para assesor terhadap sebuah sekolah, tapi sifatnya hanya masukan dan sumbang saran dan selanjutnya terserah sekolah apakah mau berkembang atau cuma jalan di tempat alias cuma memikirkan hal-hal di luar dunia pendidikan seperti bisnisnya saja.

Korelasinya ada bila praktik buruk ini kerap terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi kalau bukan dari hasil penelitian 2016 yang baru dirilis mengenai tingkat kecakapan orang dewasa (PIAAC-Programme for the International of Adult Competencies) yang diselenggarakan oleh OECD (the Organisation for Economic Co-operation and Development) atau Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan dalam sejumlah tingkat kecakapan yang berstandar internasional seperti literasi, numerasi, dan pemecahan masalah. 

Kemampuan cognitive (berpikir) meliputi kemampuan membaca, menulis, matematika, dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Keahlian sosial dan interaksi meliputi keterampilan bekerja sama, perencanaan pekerjaan dan penggunaan waktu untuk diri sendiri dan lainnya, komunikasi serta negoisasi, serta interaksi dengan pelanggan, seperti kemampuan menjual dan memberikan jasa dan nasehat/opini. Hal lainnya keahlian fisik (physical skills) dan keahlian belajar (learning skills). Dan yang terpenting, angka-angka hasil survei ini dapat menggambarkan seberapa sukses sistem pendidikan, keterampilan, dan keahlian mampu membuat sumber daya manusia suatu negara memenuhi standar internasional dan pada gilirannya dapat bersaing dengan sumber daya manusia dari negara lain.

Negara-negara yang berpartisipasi antara lain dari Eropa (Austria, Belgia, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Italia, Belanda, Norwegia, Polandia, Rusia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Inggris dan Irlandia Utara, Yunani, Lithuania, Slovenia, Hungaria, Kazakhstan dan Turki). Dari Asia (Jepang, Korea, Singapura dan Indonesia), Amerika Latin (Meksiko, Ekuador, Cile) dan lainnya AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Israel.

Temuan OECD terhadap kemampuan dan kecakapan orang Indonesia yang diukur dalam survei ini di Jakarta (padahal Jakarta bukanlah representasi Indonesia secara menyeluruh) menunjukkan betapa kecakapan rata-rata orang Indonesia dewasa di bawah standar yang dipatok oleh OECD, mulai kemampuan membaca, berhitung, dan memecahkan masalah nilainya rendah dan berjarak cukup jauh dengan negara-negara lainnya yang disurvei. Dari usia antara 16-65 tahun responden yang disurvei seluruhnya rendah dalam kemampuan yang diujikan. Hal lain adalah kemampuan responden pria terlihat lebih dibandingkan responden wanita dengan gap yang cukup jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun