Keberhasilan ahli-ahli penerbangan Indonesia dari PT Dirgantara Indonesia (DI) memproduksi pesawat N-219 sungguhlah sangat membanggakan. Peristiwa ini lebih punya konotasi plus dibandingkan peristiwa 20 tahun lalu saat NH250 yang diproduksi IPTN dengan Casa Spanyol,yang kemudian memproduksi CN 235.
Walaupun loncatan tahun 1995 lebih memukau ketimbang 2015, tapi melihat upaya, ambisi dan passion untuk memproduksi 100 persen pesawat buatan Indonesia patut diacungi jempol. Pertama tanpa tangan asing, dan kedua ada langkah besar yang dilakukan sesuai dengan perkembangan jaman yang berbeda. Cara berpikir rakyat Indonesia saat ini berbeda dengan generasi 20 tahun lalu sepertinya.
Dua puluh tahun lalu para pesimis apriori dengan perkembangan teknologi dirgantara yang digagas dan diwujudkan Mantan Presiden ke 2 , BJ Habibie. Suara sumbang dari para haters Habibie mengatakan Indonesia negara agraris bukan industri, padahal sampai sekarang beras aja masih impor. Pesawat Indonesia tidak pantas dibeli negeri tetangga (Thailand) dengan ketan. Padahal ketan itu juga ada nilainya dan lompatan teknologi itu bukan result atau hasilnya yang penting tapi prosesnya yang juga menghidupkan keahlian dan juga kemampuan perkembangan teknologi pesawat buatan Indonesia.Â
Tapi beginilah Indonesia baru sadar kalau pencapaiannya dicemburui banyak orang dan akhirnya tersadarkan. Ingat krisis ekonomi 1998 dan Indonesia harus meminjam dari IMF (Dana Moneter Internasional), salah satu butir kesepakatannya adalah menyetop usaha Indonesia membuat pesawat sendiri dengan cara melarang dana APBN untuk proses produksi pesawat. Dan rakyat yang short-minded saat itu tersenyum senang dengan keputusan itu, padahal Indonesia akhirnya mundur membuat pesawat, dan tenaga ahlinya akhirnya diimpor negeri lain dan bahkan bekerja di bidang lain. What a mess!
Pesawat N-219 ini punya kemampuan mengangkut 19 orang penumpang, berteknologi lebih canggih dari pesaingnya di kelasnya, cocok untuk daerah terpencil karena memiliki kecepatan minimum (stall speed) 59 knot sehingga mampu digunakan untuk terbang yang memerlukan manuver mumpuni dengan kecepatan rendah. Hal lain punya terrain alerting and warning system yang memberikan kemudahan kepada pilot pandangan 3 dimensi untuk mendeteksi pesawat saat mendekati kawasan perbukitan. Terakhir pesawat ini mampu mendarat di landasan sepanjang 350 meter yang berkerikil. Nah ini membuat kita bangga...Indonesia keren!
Saatnya yang haters dan pros sekarang bersama-sama mendukung Indonesia menjadi negara yang mempunyai lisensi membuat pesawat. Saat itu dari 4 prototipe CN235, 2 telah diselesaikan, namun karena distop produksinya, Indonesia urung jadi negara pembuat pesawat.Â
Mudah-mudahan Indonesia belajar banyak dari industri otomotif yang lebih terkenal sebagai industri dagang mobil tapi bukan industri buat mobil. Miris melihat jalan tol Indonesia jadi etalase mobil Jepang. Padahal di Jepang sendiri rakyatnya banyak naik kereta api dan sepeda. Lucunya ada salah satu direktur mobil terkenal di Jepang malah nggak punya mobil. Siapa yang bodoh dan siapa yang pikun?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!