Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apa Perlu Dewan Rating di Zaman Digital?

12 Juli 2016   08:39 Diperbarui: 5 Agustus 2016   04:23 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dunia digital sudah terbukti segalanya serba instan dan dapat kita lihat hasilnya terutama jumlah dan siapa penontonnya serta dimana  dan bagaimana mereka menontonnya? Teknologi "real time" tak bisa dipungkiri amat demokratis dan transparan yang membuat media on line menggambarkan kondisi sebenarnya telanjang tanpa sensor. Jadi usulan pembentukan dewan rating televisi untuk menandingi AC Nielsen karena lembaga asal Amerika Serikat disinyalir data samplenya tidak akurat dan pesanan dari stasiun televisi tertentu masih up to date?  Hal lain lembaga rating ini sangat berkuasa karena cuma satu-satunya, dan telah diakui dunia, dapat dipercaya dalam melakukan survei pemeringkatan program yang menentukan mati-hidupnya program televisi.

Seperti diakui oleh pihak AC Nielsen bahwa mereka memang hanya menghitung kuantitas (jumlah) bukan kualitas (mutu) program-suatu hal yang berbeda platformnya dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Bila memang ada keinginan agar Nielsen mau membongkar metode pemilihan sample penontonnya di 12 kota kepada publik apakah ini akan membuat lebih baik? Bisa ya bisa juga tidak. Ya karena akan membuat Nielsen diakui sebagai media yang transparan dan tidak berbohong kepada publik selama ini, namun bisa juga tidak karena metodologi surveynya justru merupakan kunci/core businessnya saat ini dan itu ada copyright (hak cipta) yang tidak bisa sembarangan diberikan kepada pihak lain-suatu hal yang terbukti Nielsen tidak hanya dipercaya oleh pihak televisi tapi juga pihak pengiklan (advertiser)

Bicara Rating tentu kita yang jadi rajanya ya para penonton, karena makin banyak penontonnya maka makin tinggi ratingnya. Masalahnya bagaimana mengukur acara bagus, di waktu tayang (slot) tepat, dan pengisi acara yang bagus kalau lembaga rating harus memonitor ratusan juta penonton Indonesia bila tidak menggunakan sample? Disinilah data yang dikumpulkan bisa secara online dihitung Nielsen dan setelah diolah berdasarkan kategori biografi penonton, tingkat sosial ekonomi, durasi mereka menonton dan tetek bengek lainnya, terlihat siapa saja penonton program tersebut.  Dan inilah yang saat ini terjadi dimana proses penghitungan dan pengecekan penonton televisi melalui satu cara menonton tradisional yaitu menonton televisi di ruang keluarga bukan lewat smart phone,tablet atau gadget lainnya.

Kalau bicara konteks kekinian melihat kebiasaan para remaja sebagai penonton masa depan dan potential buyer (dari produk iklan yang ditawarkan), mereka lebih senang melihat program televisi berdasarkan kenyamanan dan kebutuhan mereka. Mereka ogah menonton program televisi beserta orang tua atau kerabatnya untuk program yang mereka sukai. Mereka suka kongkow dengan teman-teman komunitas mereka di waktu-waktu yang mereka bisa saling curhat, curcol atau iseng kasih opini/kritik/pertanyaan dimana "bahasa gaul" yang mereka gunakan memang sesuai dengan hal-hal yang mereka sendiri pernah lakukan. Dan disinilah fenomena video on demand berlaku. Mereka menonton televisi sesuai dengan keperluan dan kepedulian mereka. Dan hal inilah yang tidak bisa dimonitor oleh rating AC Nielsen, tapi bisa terlihat dari jumlah penonton lewat data yang dihitung lewat jumlah viewer tayangan video katakan di You Tube. Seperti video ini sudah ditonton sebanyak ratusan/ribuan/jutaan bahkan miliaran penonton. Contoh video klip lagu Korean, Gangnam Style, miliaran orang menonton, dan ini real time yang Nielsen nggak akan bisa monitor. 

Dengan data diatas pembentukan Dewan Rating apa nggak ketinggalan zaman? Lantas fungsi KPI seperti apa? Dengan wewenang yang terbatas, sepertinya KPI memang tidak bisa tidak tetap membuat ukuran program televisi yang ukuran kualitasnya baik seperti apa dan memberikan masukan ke televisi dan lebih seperti polisi pengayom yang kadang menyetrap dan menghentikan program yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia seperti pornografi dan pornoaksi. Sedangkan bagi pengelola/pemilik televisi sudah seharusnya mengantisipasi membuat web tv sehingga tayangan live streamingnya menjangkau para penonton muda, apalagi para pengiklan sekarang sudah banyak beralih ke media on line karena selain lebih murah produksinya juga lebih terbukti sampai ke penonton yang disasarnya.  Tinggal akhirnya bagaimana kejelian pihak televisi mengamati dan terus mengupdatedata penontonnya (data base) untuk menciptakan program-program baru yang disukai penontonnya tersebut. Kalau sudah begini bagaimana dengan nasib Nielsen dan Dewan Rating? Ya mereka harus cari cara bagaimana bisa melakukan penghitungan jumlah penonton secara real time? Mau nggak mau sepertinya. 

“I find television very educating. Every time somebody turns on the set, I go into the other room and read a book.” 

Groucho Marx

Ref:

Gagasan Dewan Rating

KPI Indonesia Perlu Dewan Rating Pembanding AC Nielsen

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun