Saya mungkin terlambat melihat mini drama ini Ada Apa Dengan Cinta (AADC) sekuel yang ke 2 di YouTube tapi lebih baik terlambat menonton daripada sama sekali tidak menonton. Memahami gerakan gambar dan visualisasi film berdurasi pendek ini memang sangat rinci dan runut. Sesuatu yang mengingatkan kita pada rumitnya pembuatan iklan produk besar dengan biaya besar serta diarahkan oleh sutradara yang kebanyakan impor berharga ribuan hingga ratusan ribu dollar AS. Menjaga stamina dan urutan gambar yang ciamik dan penuh perhitungan itu ternyata sangat sulit. Apalagi film berdurasi panjang yang setiap shotnya sudah dipikirkan sebelumnya. Namun meramunya menjadi sebuah scene dengan keseimbangan pencahayaan dan atmosphere yang meyakinkan itu terus terang tidak mudah. Itu baru sinematografinya. Bagaimana dengan ceritanya?
Yang jelas cerita film ini sudah pasti fiksi dan jenis filmnya formalistik (lawan dari realisme) atau bisa dibuat realisme yang dibuat-buat dan wajar saja karena untuk kepentingan "entertainment " (hiburan) yang entertaining (menghibur). Kalau mau lihat literatur cerita film AADC mengacu kepada paradigma klasik (Classical Paradigm) yaitu format penceritaan yang menjaga setiap karakternya agar sesuai dengan "keinginan" penonton...seperti yang antagonis pasti kalah dengan yang protagonis, walaupun sang protagonis pada awalnya kalah. Dalam buku The Poetics, Aristotle, ilmuwan Yunani masa lalu membedakan dua cerita fiksi antara mimesis (mempertunjukkan) dan diegesis (menceritakan), dan melihat film ini keduanya disatukan dimana faktor memesisnya (menurut saya) jauh lebih kental.
Cerita jenis ini menekankan kesatuan dramatis dan motivasi-motivasi yang masuk akal. Untuk menambah "kekuatan emosi" ada deadline yang harus dipenuhi seperti adegan Rangga harus ke New York setelah dua hari menginap di Indonesia. Disini ada dua plot dibangun agar cerita cinta romantis dibangun paralel dengan garis utamanya-Rangga mau pulang dan Cinta mendelete seluruh chat historynya dengan Rangga.
Struktur plotnya lurus-lurus saja (linear) dan mengambil bentuk sebuah perjalanan (New York-Jakarta-New York), pengejaran (Rangga ingin ketemu Cinta dan Cinta mengejar Rangga akhirnya). Action is Character begitu kata Syd Field dalam beberapa karangannya tentang skenario (screenwriting)...intinya Apa yang dia kerjakan menunjukkan siapa dirinya bukan apa yang dia ucapkan. Coba lihat berapa banyak Rangga dan Cinta beradu bicara...hanya yang penting-penting saja...terutama lewat pesan chatting dan gerak gambar. Para penyuka gaya penceritaan ini mementingkan pada hasil akhir yang sesuai tujuan yaitu Rangga bertemu Cinta...(dan bisa AADC (3), Rangga dan Cinta seriusan. Lewat cara ini, film berdurasi pendek ini mampu dan "gampang" dipahami lewat  scene-scenenya yang runut, walaupun buat pencinta film "agak serius" menganggap film jenis ini "mengada-ngada" saja.
Durasi film selama 10 menit terbagi dalam 25 persen bangunan cerita awal (set up), bagian tengah (konflik/konfrontasi) dan bagian akhir/final (resolusi)..dengan komposisi 25%(2.5 menit )+50%(5 menit)+25%(2.5 menit)
Melihat komentar - komentar lucu dari jutaan penonton yang sudah menonton video ini, satu hal kita bisa bernostalgia 12 tahun lalu pada tahun 2002 dimana sebagian penonton sudah bisa "move on" dari masanya yang mungkin masih "cupu" dan "culun' menjadi manusia sukses saat ini menganggap film ini menggambarkan "kehidupan" sesudahnya tidaklah 100 persen seindah yang dibayangkan saat itu. Sedangkan bagi yang, maaf, belum move on masih mempertanyakan 12 tahun kemana aja Rangga? Kok teganya Rangga meninggalkan Cinta tanpa say hello sedikitpun? Lantas juga kenapa selama 12 tahun Cinta kok masih menjomblo? Â Anda ada di pihak mana ...mungkin AADC sekuel ketiga bisa dijadikan ide. Have a great and long holiday!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H