Dalam dua tahun terakhir ini saya mengalami dan melihat perkembangan psikologi masyarakat Indonesia yang terpampang di media sosial sangat dinamis-dalam arti pengungkapan jati dirinya sesuai dengan pilihan politiknya yang suka atau tidak suka berpengaruh kepada identitas "baru"-nya itu hingga saat ini.Â
Hal itu secara nyata terlihat dalam status, pernyataan dan pertanyaan kritis mereka tentang isu pilihan politik dan pilihan calon presidennya dari yang terbatas hanya ingin tahu dan mau tahu hingga yang ke nggak mau tahu, pura-pura tidak tahu dan mau tahu aja yang disampaikan dengan ocehan dan tulisan dengan nada santun, nyinyir hingga kasar (menghina).Â
Banyak yang saya lihat dari mereka, contoh sebagian dari teman-teman penulis baik saya kenal sejak sekolah dan bekerja menjadi "berubah" padahal penulis kira "perubahan" itu hanya eksis ketika masa pesta politik atau tahun kampanye itu saja, tapi tidak tahunya masih berlanjut hingga kini. Apakah masalah menang dan kalah jadi permasalahan?Â
Apakah kalah kehilangan muka dan menang malah dapat nama? Dampaknya pertemanan yang tadinya hangat dan persahabatan yang tadinya saling peduli malah berubah menjadi sebaliknya. Apakah ini normal?
Sejumlah ahli asing yang saya kutip tulisannya mengutarakan identitas seseorang di suatu negara bisa berubah ketika harus menyeberang dan bekerja di negeri tetangganya karena identitas itu tergantung dari mobilitasnya.Â
Dan itu tidak terbatas dalam hal mencari upah di negeri lain, bahkan identitas lulusan sekolah menengah atas akan berubah juga ketika diterima di perguruan tinggi karena atmosfir dan tuntutan pendidikan yang lebih tinggi dan ketat.Â
Tentu saja harapannya perubahan-perubahan itu tidak mengubah identitas pribadinya misal dari bersahaja malah jadi pongah atau dari yang jiwa sosialnya tinggi sekarang malah jadi lebih individualistis.
Woodward (2007) pernah mengatakan : "One's identity is not fixed but is constantly changing" atau Identitas seseorang tidak akan tetap karena akan secara konstan berubah. Contoh resiko pekerja yang pindah untuk  bekerja di luar negeri seperti yang ditulis (Sichone, 2008) yang menimpa sejumlah para pencari kerja dari negara-negara Afrika hitam ke Afrika Selatan, banyak dari mereka menjadi korban yang disebut dengan "Xenophobia" atau ketakutan kepada para pendatang karena mereka dianggap sebagai biang pengangguran bagi warga lokal Afrika Selatan.Â
Ahli lainnya,  Blommaert mengatakan "... that as individuals move across borders, the capacities they have may not hold the same value across both contexts" (terjemahan bebasnya orang-orang yang menyeberang perbatasan atau migran mungkin akan kehilangan nilai-nilai atau harga dirinya ketika harus mencari upah di negeri lain).Â
Saya belum berani berasumsi apakah TKI atau TKW Indonesia juga telah kehilangan identitasnya ketika bekerja di negeri lain seperti di Malaysia, Hongkong, Arab Saudi dan lain-lain bila profesinya mengganggu pasar tenaga kerja lokal disana.