Dunia televisi sebenarnya pernah mengalami masa keemasan pada tahun 90an hingga pertengahan 2000an namun dengan berkembangnya internet banyak penonton televisi yang merupakan pangsa pasar yang menghidupkan industri ini berpindah untuk lebih banyak menonton tayangan hiburan dan informasi di media sosial.
Namun uniknya walaupun fakta menunjukkan kaum milineal yang merupakan pangsa pasar potensial televisi banyak yang dianggap jarang atau tidak menonton televisi namun itu ternyata lebih ke urusan platform karena ternyata mereka lebih banyak menyaksikan program lewat telepon pintar (Smart Phone)-artinya jangan harapkan mereka menonton televisi bersama keluarga di ruang tamu dimana hanya satu televisi disediakan.
Dan itu terlihat dari trend perolehan iklan televisi yang makin naik dari tahun sebelumnya seperti perolehan iklan tv pada 2018 naik 13,35 persen sebesar Rp.110.46 trilyun. (Tahun 2017 perolehan iklan "hanya" Rp.97.45 Trilyun) dimana jenis produk dan brand yang terbanyak beriklan adalah ditujukan untuk kaum milineal yang merupakan potensial buyer seperti produk perawatan diri, makanan olahan, internet, minuman dan rokok serta brand yang paling banyak beriklan seperti Pantene, Wardah, Clear dan Rexona. (Lihat Gambar 1 dan 2)Â
Diakui memang kualitas lulusan SMK Broadcast memang tidak siap pakai karena ada gap atau missing link dengan dunia kerja seperti industri televisi, film dan juga periklanan. Mereka memang masih memerlukan pelatihan lagi dan jam terbang yang lebih banyak agar para lulusan ini bisa kompetitif di dunia komunikasi ini.  Â
Bukankah studi selama ini mengungkapkan bahwa kaum muda yang akan menjadi pewaris negeri ini populasinya akan semakin banyak dan bila tidak dikaryakan akan membuat kerawanan dan masalah sosial.
Sejumlah stasiun televisi memang telah membuat program magang dan pelatihan bagi para fresh graduate selama ini, namun masalahnya yang diminta kebanyakan/hanya lulusan sarjana (S1) padahal keterampilan dunia televisi seperti kru di sejumlah bidang seperti kameraman, audioman, lighting man, editor yang sifatnya operator saja dan beberapa lainnya yang sifatnya tehnis hanya butuh pelatihan dan jam terbang saja.Â
Pengalaman kerja di sebuah stasiun televisi dan melihat fakta di sejumlah televisi lain, banyak para kru tersebut bukanlah jebolan universitas, bahkan ada yang bekas office boy atau tenaga cleaning service.Â
Disadari memang banyak stasiun televisi menginginkan karyawan yang lebih berpendidikan untuk mengisi jajaran pegawainya dan itu tidak salah karena kemampuan dan jenjang akademik banyak menunjang profesi ini namun ironisnya bidang audio visual ini terbuka untuk menerima lulusan dari jebolan kuliah apa saja bahkan lulusan fakultas Sejarah, Politik, Bahasa dan Hukum bisa menjadi jajaran kru tehniknya-sesuatu yang sebenarnya mubazir dilihat dari latar belakang kuliah mereka di bidang yang berbeda.Â
Pertanyaannya kalau lowongan kru tehnis di banyak stasiun televisi ini direbut para lulusan perguruan tinggi tersebut, lantas kemana lulusan SMK Broadcast bekerja nantinya? Pertanyaan yang pasti menghantui para lulusan, pengajar, pemilik dan stake holder SMK.