Di era Revolusi Industri 4.0 dan jelang Society 5.0, dunia semakin cepat bergerak menuju keniscayaan dimana faktor sumber daya manusia menjadi sangat penting bukan hanya sebagai konsumen namun sebagai pencipta dengan demikian kemampuan manusia Indonesia harus terus digeber agar bisa mengimbangi kemajuan negeri-negeri lain yang indeks pembangunan manusianya (IPM) telah jauh diatas negeri ini-Indonesia tahun 2018 baru mencapai IPM atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut Human Development Index (HDI) sebesar 0.694 dan peringkatnya di Asia Tenggara masih dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina.
Menjadi menarik mengenai adanya rencana Kementerian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengadakan angket sejenis survei untuk mendapatkan input dari para siswa tentang bagaimana mereka menyerap pembelajaran selama bersekolah (informasi non-kognitif) yang akan dilakukan pada saat Ujian Nasional (UN) tahun ini. Sepertinya ada pemahaman dari penyelenggara bahwa masing-masing siswa punya latar belakang yang berbeda sehingga tidak bisa menyimpulkan siswa yang tidak lulus ujian karena dia bodoh. Â
Selama ini masukan siswa terabaikan karena banyak input hanya dari orang tua sehingga kurang objektif menggambarkan perkembangan pembelajaran sang anak. Ada lima jenis isian angket yang akan dilakukan yaitu well-being (tes tentang psikologi si anak), familiarity (keakraban dengan materi uji atau lingkungannya), digital literation (kepekaan akan perkembangan teknologi), financial literation (pengetahuan tentang masalah keuangan) ,parent support (dukungan keluarga) dan global awareness (kepekaan kepada lingkungan sosialnya). Angket ini akan dilakukan setelah para siswa melakukan Ujian Nasional (UN)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan nasional yang sedang dijalankan saat ini kebanyakan masih mengadopsi kebutuhan industri awal (pekerjaan di pabrik) yang jauh dari kenyataan industri saat ini yang lebih mementingkan kreatifitas, kemandirian dan kemampuan berkomunikasi. Ironisnya sistem diatas masih dibawa para calon pekerja ketika melamar dan bekerja di era industri informasi saat ini sehingga menjadi hambatan bagi mereka untuk berkembang dan berkompetisi.
Konsep pendidikan yang dianggap masih tradisional ini adalah memberikan tugas setumpuk kepada siswa dengan mengatur kehidupan persekolahan dengan lonceng atau bel sekolah. Dan selama sehari belajar para siswa yang mengikuti sistem pendidikan ini kebanyakan dilatih untuk bersikap pasif dan harus mengikuti peraturan disiplin kelas/sekolah dengan duduk rapi, tidak boleh bicara, dan menunggu perintah dan bahan ajar dari Bapak/Ibu guru.
Para siswa/i yang disiplin akan menjadi siswa yang dianggap rajin dan baik serta dihargai. Ini tidak salah namun sayang sistem ini sudah out of date dan hanya cocok dalam pekerjaan di pabrik yang semuanya sudah terkontrol alias pekerjaan linear yang banyak dibutuhkan pada masa lalu. Artinya produk yang dihasilkan oleh pabrik adalah seperti yang sudah digariskan seperti yang ada di pabrik kain, baju, sepatu, sepeda dan otomotif yang pola dan model jadinya sudah tersedia dengan pakem yang sudah standar. Â
Faktanya di dunia nyata dengan maraknya disrupsi ekonomi zaman now kalau pekerja mempunyai mentalitas seperti diatas, sumber daya manusia dengan kualitas seperti ini tidak akan digunakan karena setiap persoalan yang terjadi tidak hanya dengan satu petunjuk atau solusi, bahkan banyak problem dan solusinya yang tidak terpikirkan sebelumnya.Â
Pekerja modern harus mampu berpikir kreatif dan sanggup mengkomunikasikan ide-idenya kepada orang lain serta dapat berkolaborasi dengan sejawatnya artinya bukan hanya bekerja sama saja tapi juga mampu bertukar pikiran dan bersama-sama mendapatkan nilai tambah dari komunikasi yang dilakukan. Memperhatikan sistem pendidikan di kelas yang selama ini terjadi, siswa kurang/tidak mendapatkan kesempatan tersebut bila ingin outputnya sejalan dengan Revolusi Industri 4.0.
Sistem pendidikan ketinggalan jaman ini membuat para siswa tidak/kurang  mempunyai hak otonomi dan kontrol kepada diri mereka sendiri karena keseharian pembelajaran mereka dikontrol oleh metode dan durasi yang telah disiapkan. Ironisnya dalam dunia kerja saat ini pekerja ketika melakukan tugasnya harus menentukan tenggat waktunya sendiri artinya ada kemandirian karena beban kerja dikontrol diri sendiri bukan oleh orang lain. Rentetannya pekerja saat ini harus mampu membuat keputusan sendiri serta waktu yang dirancangnya sendiri saat mengeksekusinya.
Pendidikan dengan sistem ini hanya membuat siswa diawasi "kehidupan" pembelajarannya sehingga mereka tidak terbiasa bertanggung-jawab kepada kehidupan pribadinya. Mereka hanya dididik untuk mengikuti aturan atau petunjuk yang ada secara monoton dan kurang dilatih untuk melakukan inisiatif atau mengambil alih (take control) suatu persoalan atau kesulitan lalu membuat keputusan bagaimana solusi terbaiknya.
Hal-hal seperti diatas pada akhirnya menimbulkan kebosanan bagi para siswa sehingga mereka kurang bergairah untuk bersekolah. Coba bayangkan bagaimana bila kehidupan anda diatur dan dikontrol setiap waktunya, pasti anda akan jenuh dan kurang motivasi dalam belajar dan hidup.