Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menerka (Nasib) Televisi Saat Ini

13 April 2017   13:15 Diperbarui: 15 April 2017   01:00 1754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah banyak data mengungkapkan jumlah penonton televisi makin berkurang terutama di kalangan muda yang lebih sibuk dengan gawainya. Para “potential buyer” ini sebenarnya adalah penonton yang jadi ukuran bagaimana televisi akan bertransformasi di masa depan, katakan 10 hingga 20 tahun mendatang.

Bicara televisi bukan hanya menyangkut program yang ditayangkan tapi juga bagaimana menggaet kaum muda untuk terus menonton agar perolehan iklan yang didapat bisa terus menghidupi stasiun televisi yang padat modal agar bisa break even point sesuai jadwal.

Tidak bisa dipungkiri televisi erat dengan iklan karena kue bisnis itu yang diarah lewat program sebagai umpan. Lewat perolehan rating yang didapat setiap minggunya pengelola televisi berjibaku untuk terus bisa menghibur penontonnya agar tetap ‘stay tune’agar perolehan iklannya tidak berkurang atau malah program itu harus “fade out” karena tidak laku karena dianggap sudah tidak menarik dan kalah bersaing dengan program lain.

Menguatkan program yang diinginkan penonton bukan masalah mudah bagi kreator televisi, karena jam tayang dan konten menarik tidak serta merta mampu memikat mereka. Ada faktor desain, tren dan juga keberuntungan yang mampu menjaga sebuah program mempertahankan keunggulannya lewat stamina acara yang terpelihara dengan baik. Permasalahannya, “life circle” sebuah program saat ini tidaklah sepanjang dulu dimana sebuah program bisa bertahan dalam beberapa musim penayangan.

Penting dan jadi keharusan memang televisi dan pengiklan terus melakukan riset secara mendalam kepada penonton terutama potential buyer antara 15 hingga 30 tahun, apa yang mereka inginkan dan impikan ketika menonton televisi. Tidak lain untuk mengukur apakah apakah acara yang ditayangkan memang sejalan dan sesuai dengan kemauan mereka (penonton). Bila pengelola televisi dan pengiklannya hanya “take for granted”habis sudah ; Hal ini untuk menghindari sebuah program seperti “asyik sendiri” dan tidak menghiraukan penonton, sama sebanding dengan penyiar berita yang terkesan terburu-buru mengenalkan sumber berita, mengenalkan dirinya sendiri dan mengawal berita yang sepertinya informasi yang didapatkan hanya untuk dirinya sendiri dan menganggap penonton sudah sepaham dengannya.

Menonton televisi dengan pintar mungkin yang paling tepat untuk para penonton saat ini, yang mungkin saja sudah bisa ditambahkan, menonton karena memerlukan. Kalau begitu bagaimana dengan rating? Orang paham di negeri ini rating berita/news selalu dibawah tayangan hiburan, namun bicara share penonton, tayangan berita banyak digemari penonton sedikit tapi yang berkualitas. Jadi rating tinggi tidak menjamin share penonton yang ditargetkan didapatkan. Artinya penonton sudah lama teredukasi bahwa menonton seperlunya.

Namun anehnya ketika era yang semakin sedikit yang menonton televisi, malah justru terjadi revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ada klausul sebuah program durasi iklannya bertambah jadi 40 persen dari sebuah tayangan (yang tadinya 20 persen). Hal lain media televisi adalah media publik yang harus ijin publik baru bisa siaran (lewat approval DPR), namun dalam klausul perubahan ada “tambahan” pasal khusus (pasal 103), bahwa setiap partai politik (parpol) boleh memiliki stasiun televisi-disebut dengan istilah Lembaga Penyiaran Khusus. Kedua tambahan pasal diatas sangat jelas tidak memihak ke penonton(rakyat) yang perlu televisi untuk menyaksikan program yang netral, beragam dan merangsang pembedayaan. Lewat kedua rencana perubahan tadi seperti makin banyaknya iklan dan parpol boleh punya partai, stasiun televisi swasta akhirnya cuma jadi ajang komersialisasidan konglomerasi serta ditambah jadi televisi propaganda.

Kira-kira kalau begini penonton televisi makin banyak atau berkurang? Dengan porsi tayangan sekarang saja sudah banyak yang ogah menonton televisi, apalagi nanti. Yang jelas migrasi ke media sosial(medsos) bertambah banyak karena literasi internet di Indonesia sudah lebih dari 100 juta orang. Bisa diprediksi persoalan penonton nantinya bukan lagi menonton televisi dengan pintar, tapi gunakan media sosial dengan cerdas. Televisi sebagai alat pembangunan dan pemersatu bangsa? Ah itu masa lalu, sekarang era internet, dan televisi swasta cuma bagian dari jutaan channel medsos, yang dominan unsur hiburannya.

Social media is not about the exploitation of technology but service to community -Simon Mainwaring

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun