Tiap bangsa, rakyat dan negara di bagian bumi yang kita diami mempunyai adab budaya komunikasi yang berlainan. Ada dua cara berkomunikasi yang dikenal yaitu komunikasi langsung (direct communication) dan komunikasi tidak langsung (indirect communication). Dan persoalan terjadi ketika berinteraksi, cara berkomunikasi yang dibawanya berbeda, contohnya pembicara pertama bergaya komunikasi langsung, sementara lawan bicaranya menggunakan gaya komunikasi tidak langsung. Dalam keseharian pergaulan mungkin hal ini akan terasa biasa karena tidak ada preseden sesudahnya, namun dalam dunia bisnis (yang melibatkan uang-business deal/pitch), tentu akan terjadi masalah ketika pembicara yang menggunakan bahasa langsung menganggap lawan bicaranya merespon katakan proposal pembicara pertama dengan jawaban yang tidak langsung (indirect), dan cenderung kurang jelas dan kurang fokus (vague/unfocussed). Sementara lawan bicaranya menganggap pembicara pertama terkesan kasar (rude). Maka pentingnya hubungan bisnis yang melibatkan dua pihak dengan latar belakang budaya komunikasi berbeda ini memahami kehalusan (subtleties) dalam gaya komunikasi keduanya.
Metode Komunikasi tidak langsung biasanya melibatkan gaya bahasa kiasan (metaphors), sindiran (insinuation/innuendo), petunjuk halus (hints) dan bertolak-belakang (irony). Gaya komunikasi seperti ini haruslah dipahami bukan pada apa yang diucapkan secara jelas namun kita harus menangkapnya dari apa yang tersirat (implied/hinted)-gaya komunikasi ini biasanya untuk “terus” memupuk persahabatan/pertemanan di dalam suatu lingkungan (to maintain harmony). Umumnya metode komunikasi tidak langsung digunakan di lingkungan budaya yang menganut inklusivitas-mengikuti aturan bermasyarakat yang sudah ada dan berlaku (inclusiveness) dan prinsip gotong royong (collaboration). Penggunaan kata yang terlihat jelas adalah penggunaan kata kami, kita (we/us), mungkin (maybe/perhaps), perkenankan (could), sudikah kiranya (may/might). Contoh : “Pak, angin dari jendela kencang sekali, boleh minta tolong jendelanya ditutup? Lembaran kertas kerja kami beterbangan soalnya”. Perhatikan kata “boleh minta tolong” dan kata “kami” (padahal yang terganggu orang yang minta jendelanya ditutup). Komunikasi tidak langsung menekankan hubungan sosial antar warga untuk “tetap” harmonis. Komunikasi jadi terasa pribadi (personal), dan bila ada “konflik” diselesaikan secara kekeluargaan/musyawarah.
Sementara metode komunikasi langsung melibatkan bahasa yang terpadu (concise) dan langsung/to the point (straightforward language). Tujuan komunikasi langsung adalah menyampaikan inti persoalan/permasalahan dengan jelas (clearly) dan tidak melantur (not digress). Gaya berkomunikasi langsung dan berekspresi lewat pendapat pribadi (personal opinions) tumbuh dan berkembang di budaya yang menekankan cara hidup individualistis (individualistic culture). Budaya yang menekankan komunikasi langsung cenderung menempatkan penghargaan kepada otonomi (autonomy), kejujuran (honesty) dan tembak langsung (straightforward). Kata-kata yang digunakan dalam komunikasi langsung yang sifatnya pribadi/personal seperti saya (I/me), dan jarang menggunakan kata-kata boleh,ijinkan,maafkan dan mungkin. Dalam konteks Bahasa Indonesia, contohnya :” Pak, saya kepanasan, tolong buka jendelanya dong”. Pesan perintah ini jelas (clear). Orang yang menyuruh ini sedang kepanasan dan dia ingin membuka jendela. Walaupun dia masih menyisipkan kata tolong (please), sebenarnya dia hanya berusaha untuk sopan (being polite), dan kehalusan (subtlety) seperti ini ada dalam gaya komunikasi jenis ini.
Budaya yang menggunakan metoda komunikasi langsung cenderung fokus kepada sesuatu agar segera bisa dikerjakan dan selesai, dan umumnya menggunakan sedikit kata. Pesannya jelas (obvious), dan komunikasi yang terjadi sifatnya tidak pribadi (impersonal). Dan normal saja bila terjadi konflik antar personal bahkan secara tatap muka (face to face).
Negara-negara yang umumnya menggunakan gaya bahasa komunikasi langsung adalah Amerika Utara dan Eropa Barat, sementara gaya bahasa sebaliknya adalah Asia dan Timur Tengah. (Lihat Gambar)
Lantas bagaimana menyiasati penggunaan bahasa komunikasi langsung dan tidak langsung? Ya, sesuai konteksnya. Kalau order makanan di restoran tentunya harus langsung info yang jelas makanan apa yang dipesan, kalau berputar-putar dan kurang jelas, nanti yang disajikan bukan yang diinginkan.
Edward T.Hall lewat bukunya, Hidden Differences, ternyata konteks budaya (Cultural Contexts) memainkan peranan dalam menentukan komunikasi langsung dan tidak langsung. Dan ada dua budaya High Context dan Low Context. Budaya high-context, nilai pertemanan/persahabatan diletakkan pada posisi lebih tinggi, dan banyak aturan tersirat (unspoken) dan semua orang "dianggap" memahaminya. Komunikasi high-context cenderung lebih tidak langsung dan menggantungkan diri pada pendengar untuk memahami apa yang dikatakan. Yang tersirat lebih bermakna dari yang tersurat. Budaya high-context banyak ditemukan di Asia,Timur Tengah,Afrika dan Amerika Latin.
Sedangkan budaya low-context, orang cenderung memilah (compartmentalize) hubungan2 yang ada dan tidak berasumsi bahwa satu hal yang tidak diceritakan itu juga berlaku untuk hal yang lain-artinya aturan-aturan sosial tergantung konteksnya. Low Context Cultural cenderung lebih langsung dalam ujaran dan maksudnya.
Ya pintar-pintar mengelola dua gaya cara berkomunikasi ini dan keduanya bisa dipelajari dan dimengerti bila kita intens untuk terus memahami budaya lain tidak hanya paham budaya sendiri.
Wise men speak because they have something to say; Fools because they have to say something. Plato
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H