Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru dan Bobot Tugas Full Day School

26 September 2016   19:38 Diperbarui: 27 September 2016   22:45 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: mirror.co.uk

Menjadi guru lengkap (full-fledged teacher) memang menjadi target dari masyarakat terutama orang tua murid ketika menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah. Guru yang tidak hanya handal dalam bidang studi yang diajarkan, tapi juga mampu membina akhlak siswa-siswinya secara baik sesuai dengan visi dan misi sekolah yang telah disepakati bersama orang tua murid. Guru sebagai paket komplet memang idealnya mampu dihadirkan di sejumlah sekolah yang telah lama berdiri dan berpengalaman dalam membentuk pola pendidikan dan karakter lulusannya seperti disiplin, tepat waktu, berkata jujur, hormat kepada orang tua/guru atau yang lebih tua dan berbicara santun.

Istilah guru pembelajar yang intinya mengharapkan si pendidik ini terus mengasah dan mengembangkan materi ajar agar selalu update memang bagus dan bermanfaat bagi profesi yang diembannya serta murid yang diajarnya. Namun problemnya banyak kendala yang dihadapi para guru di lapangan yang tidak memungkinkan melakukan hal-hal di atas. Selain jam mengajar yang lumayan banyak, mengecek hasil belajar setiap harinya, memperhatikan perkembangan kognitif dan karakter siswanya serta terakhir yang sering dikeluhkan akhir-akhir ini yaitu perkembangan internet dengan varian software dan permainan yang makin mengenaskan di gawai mereka.

Memang belum secara tuntas diinformasikan apa maksud utama dari tujuan full day school karena yang saya dengar ingin mengembalikan/mengurangi pengaruh budaya asing yang jauh dari kesopanan budaya timur atau Indonesia yang kita anut selama ini. Bila memang itu tujuannya tentu sangat baik sekali, tapi bukankah seharusnya pendidikan paling dasar itu justru harus dimulai dari rumah? Bukankah sekolah hanya tempat bersosialisasi agar tiap individu paham bahwa manusia itu makhluk sosial yang harus saling berinteraksi dan berkomunikasi? Peran pendidik disini hanya memoles dan mengembangkan potensi anak didik yang ada bukan ikut serta membentuk yang 'sudah ada' di rumah.

Dalam hal ini orang tua dengan segala kelebihan dan kekurangannya baik sengaja maupun tidak secara langsung berperan sangat besar dalam keseharian anak dan perilakunya. Contoh table manner saat makan sangat terlihat ketika mereka memasukkan sendok ke mulut apakah berbunyi ketika mengenai gigi, ketika makan apakah bersuara, juga ketika selesai makan apakah sendok ditelungkupkan atau tidak. Belum lagi adab berterima-kasih atau menghargai upaya orang lain kepada kita, tidak semua diajarkan mengucapkan 'terima kasih'.

Ironisnya pertengkaran orang tua di depan anak di rumah memberikan pengaruh negatif terhadap anak karena kata-kata kebun binatang dan sumpah serapah secara langsung dan tidak langsung terbawa ke ruang kelas. Belum lagi ajaran berdoa sebelum makan atau belajar tidak semua dipraktikkan di rumah dan tidak serta merta guru bisa biasakan karena guru dan murid tidak makan di meja yang sama, beda dengan orang tua yang lebih banyak punya waktu dalam kesehariannya.

Lantas bagaimana mengombinasikan antara guru pembelajar dan full day school? Kembali kepada peran orang tua tidak hanya menunggu laporan dari sekolah tapi ikut aktif berperan dalam prosesnya. Orang tua harus membantu program ini dengan tujuan pokok untuk menyempurnakan pendidikan anaknya baik dalam prestasi akademis dan karakternya. Contoh buruk orang tua yang mengintervensi kehidupan sekolah telah banyak diceritakan dan digambarkan ujung-ujungnya anak tidak mendapatkan apa-apa. Sebaliknya guru yang baik tentu punya sensitivitas yang memadai yang paham apa yang terbaik bagi anak dan lingkungannya. Guru tahu apa yang harus dilakukan kepada murid trouble maker dan harus dipisahkan baik tempat duduk maupun lingkungannya bila mengganggu proses belajar mengajar di sekolah. Di sinilah akhirnya orang tua seharusnya berlapang dada dan bercermin sejauh mana pendidikan anaknya memburuk saat ini: apakah lingkungan rumah, teman sepermainan atau pengaruh teknologi komunikasi?

Guru pun paham bahwa tidak ada murid yang bodoh, yang salah mungkin cara mengajarnya. Namun dengan total maksimum 35-40 murid dalam satu kelas, guru harus terbagi 1/35 atau 1/40 konsentrasinya, tentu di sinilah letak kekurangan guru dalam membagi perhatian belum lagi ditambah masalah klasik tentang kesejahteraan guru. Dan inilah seharusnya menjadi tugas orang tua yang 100 persen memiliki anak yang bermasalah itu untuk berperan lebih besar.

Saatnya guru, orang tua dan sekolah untuk berkolaborasi lebih baik lagi agar anak didik dapat berprestasi dan berperilaku baik. Bukankah ini tujuan utama dari bersekolah? 

“Intelligence plus character-that is the goal of true education.”
 Martin Luther King Jr.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun