Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah Masih Diperlukan Kreativitas dalam Produksi Program TV?

9 Agustus 2016   00:07 Diperbarui: 9 Agustus 2016   12:56 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: insiderlouisville.com

Pertanyaan ini muncul di akhir Diskusi Realitas Dibalik Kreativitas Industri TV Amerika yang dibawakan oleh narasumber: Naratama Rukmananda, Senior TV Producer Indonesia yang sekarang bekerja di Voice of America (VOA), Washington D.C.

Dengan memberikan sejumlah contoh program TV yang sedang happening dan yang sudah puluhan tahun ditayangkan dan tetap sukses di Negeri Paman Sam, kita mendapatkan kesan bahwa makin “bodoh” atau “nggak ada otaknya” suatu program TV, malah makin digemari.  Suatu fakta antitesis dengan apa yang selama ini kita pahami bahwa penonton musti diarahkan mengikuti pola yang diinginkan pembuat acara yang runut dan njelimet sesuai pakem yang dipelajari di bangku kuliah. 

Fenomena program gameshow macam Wheel of Fortune, Price is Right,Whose Line Is It Anyway, dan lainnya, menunjukkan bahwa ternyata “justru penonton” yang mendrive produser acara sehingga membuat pekerjaan “script writer/research writer” tidak berguna alias makan gaji buta.

Fenomena ini makin merajalela dengan kenyataan berkurangnya penonton televisi karena maraknya permintaan video on demand serta menonton televisi lewat gadget/gawai di luar jam-jam tradisional penonton televisi biasa menonton. Sesuatu yang merugikan dalam perolehan iklan yang merupakan urat nadi kehidupan “bisnis” televisi. Fakta 40 persen berkurangnya penonton televisi saat ini yang diungkapkan oleh dedengkot praktisi televisi, Ishadi SK, yang juga hadir dalam acara di Universitas Paramadina ini, seharusnya membuat pengelola televisi waspada dan bersiap diri.

Naratama melanjutkan bahwa ada perbedaan pokok dalam penyiaran televisi di Amerika Serikat dan Indonesia. Perbedaannya adalah pada kata “broadcasting” yang di Amrik sana, artinya ya cuma menyiarkan tanpa harus punya kewajiban memproduksi program TV. Hal inilah yang membuat industri konten di AS bisa lebih masif dan menghidupi banyak orang kreatif, tidak seperti di negeri ini yang “hanya dikuasai” sejumlah taipan televisi dengan kepemilikan 2 hingga 3 stasiun televisi, dan lihatlah betapa “seragamnya” konten program yang ada.

Pakem ini berasal dari Indosiar pada pertengahan tahun 90an yang menekankan in-house production dengan alasan apalagi kalau bukan murah dan efisien (padahal seharusnya kreatif itu tidak dijadikan satu divisi/pool, sepertinya halnya pool artis). Bila kreativitas program televisi (pekerjaan/jam tayang) dibagikan dengan rumah produksi yang ratusan dan mungkin ribuan jumlahnya, betapa banyaknya pengangguran intelektual di negeri ini bisa tertangani.

Secara kasat mata, program TV indonesia yang tayang dan mungkin yang mendapatkan rating, ya selera produser bukan selera penonton. Talkshow sukses yang disebutkan macam Mata Najwa-Metro TV, yang ratingnya cuma satu koma (1.0) dan tertinggi di stasiun tv ini (bandingkan dengan rating sinetron yang bisa mencapai dua digit), ternyata ketika ditayangkan off air, bisa lebih dari 20 ribu orang menyaksikan sehingga memerlukan satu STADION untuk menampungnya. 

Bayangkan talkshow itu acara yang berformat miskin gerak dan hanya “talking head’  tapi kok yang menonton mbludak? Pertanyaannya kemudian rating itu valid atau tidak? Kok bisa secara kejam membunuh program lain berating rendah  yang mungkin banyak penontonnya? Kembali AC Nielsen punya pakem perhitungan rating lewat sampel pilihannya dan tidak pernah sekali-kali berhitung tentang mutu atau kualitas program sama sekali.

Hal inilah membuat penonton salah kaprah menganggap televisi komersial Indonesia yang 10 itu hanya memikirkan untung dan profit saja. Tapi apakah memang salah cari untung? Bisnis televisi itu sarat modal dan Return of Investment (ROI) nya lama, jadi sah-sah saja mereka kebanyakan menampilkan tayangan hiburan yang digemari penonton dan sering kali isi dan presentasinya bertentangan dengan “nilai moral” yang dianut masyarakatnya. 

Kalau di AS, Nara menambahkan setiap televisi punya genre masing-masing sehingga kalau televisi pendidikan ya punya tugas mendidik masyarakat dan baru bicara moral dan tujuan bangsa, sedangkan televisi komersial mengangkat entertainment sebagai platform untuk semua format program televisi baik yang serius sekalipun.

Bicara televisi di masa depan tentu pengelola televisi tradisional harus bergandengan tangan dengan dunia digital dan dengan (cara mereka) menonton televisi yang baru, dan ini erat kaitannya dengan penonton televisi generasi millennials yang lahir antara 1980-1995, yang akan menjadi pemicu berkembangnya televisi di masa depan. Generasi ini  tentulah tidak tumbuh dengan cara menonton televisi tradisional di ruang tamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun