Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sapa BPJS! Halal atau Haram?

31 Juli 2015   10:28 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:40 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu konten Sapa Indonesia pagi ini yang dibawakan olah Bayu Sutiono dan Timothy Marbun yaitu tentang Kontroversi Fatwa Haram MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan cukup menarik untuk disimak. Dengan menghadirkan perwakilan dari BPJS, Irfan Humaidi, Kepala Humas BPJS Kesehatan, dan dari MUI, Aminuddin Yakub, Anggota Komisi Fatwa MUI,  serta tanggapan dari masyarakat tentang kontroversi ini, ada sedikit kejelasan apa yang menjadi inti permasalahan ini agar semua pihak mendapatkan kejelasan (clarity) , brevity (keringkasan informasi) serta intelectuality (kecerdasan memilah informasi).

Kasus Tolikara cukuplah bagi para pembuat dan pembaca informasi media online untuk mengungkapkan fakta dan kejadian sebenarnya dan berprasangka tidak baik kepada mereka-mereka yang ditugaskan menjalankan fungsi keamanan disana. Tolikara kan masih dan tetap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan dengan transparannya masalah ini akan sangat baik bila permasalahan ini dapat dimusyawarahkan diatas meja negoisasi dan bukan di medan konflik/anarki.

Perihal BPJS Kesehatan, ternyata pihak MUI membantah memasukkan kata “haram” dalam penilaian tentang penyelenggaraan BPJS. Yang lebih mengemuka adalah adanya prosedur penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan konsep syariah. Jadi mereka-mereka yang menyebarkan bahwa BPJS Kesehatan itu haram, wajar dikenai pasal konten provokatif yang seharusnya dilaporkan karena mengandung unsur yang membuat panik masyarakat.

Sudah memang seharusnya MUI sebagai perwakilan Ulama yang bertanggung jawab kepada kemashalatan (keuntungan/kegunaan) umat Islam Indonesia ada didepan dalam memperjuangkan “keselamatan” umat , karena didalam Islam, kaum Ulama yang disebut juga kaum intelektual haruslah mandiri dan bebas berpendapat sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, dua panduan utama yang wajib dilaksanakan umat Islam agar selamat hidup dunia dan akhirat.  Kaum ulama ini adalah mereka yang akan banyak bertanggung-jawab kelak di akhirat bila sampai menyembunyikan kebenaran akan kebenaran suatu ayat, sebagaimana adanya ulama kaum tertentu yang menyembunyikan kebenaran datangnya Muhammad sebagai Rasul Terakhir.  

Permasalahannya adalah di Indonesia adanya dua sistem ekonomi yang beroperasi adalah Konvesional dan Syariah. Kalau Konvensional praktek semacam riba diperbolehkan namun dalam Syariah unsur riba sangat terlarang karena sistemnya bagi hasil dan saling menguntungkan. Dan kesemuanya dari sejak akad (perjanjian) harus jelas penjelasannya (ghoror) dan peruntukkannya yang adil (bukan penggunaan iuran yang sifatnya untung-untungan (maisyir). Dan inilah yang dipermasalahkan oleh MUI. Menurut  Aminuddin Yakub dari MUI, pada saat akad , saat peserta BPJS menanda-tanganinya tidak dijelaskan bahwa uang premi yang dipotong dari pendapatannya perbulan seperti apa pertanggung-jawabannya. Sehingga katakan bila si peserta menanyakan nasib uang preminya setelah dia ikut BPJS, tapi dia tidak pernah sakit, lalu bagaimana bila dia akhirnya mengakhiri kepesertaannya, apakah uangnya bisa diambil atau hangus?

Namun Irfan Humaidi dari BPJS mengatakan sistem penyelenggara institusi ini mirip dengan ketentuan syariah, sebab uang premi yang dikumpulkan secara beramai-ramai (hampir 150 juta peserta BPJS) tetap diolah dalam penyelenggaraan operasional ini, sementara BPJS sebagai lembaga eksekutor mendapat fee dari servis yang mereka berikan.  Irfan menggambarkan seorang  peserta BPJS yang cuci darah atau penyakit parah lainnya memerlukan dana yang sangat banyak untuk mengobatinya, dan disinilah uang premi yang dikumpulkan secara bersama-sama menjadi dana untuk pengobatan si peserta. Kasarnya yang sehat membantu yang sakit. Pertanyaannya bila yang sakit bertambah banyak, sementara yang sehat makin sedikit, apakah dana ini mencukupi? Berikutnya bila si sakit menderita penyakit yang sebenarnya bisa dihindari seperti kanker paru karena merokok, apakah pantas yang sehat membantu si sakit yang kena penyakit karena kesalahan sendiri?  Lantas bagaimana mereka yang sehat dan setiap tahun memberikan premi dan berhenti di tengah jalan apakah karena keluar dari perusahaan tempat dia bekerja atau terkena PHK tanpa pernah kena sakit yang menggunakan dana BPJS? Menyangkut dana premi tersebut, menurut Irfan ternyata tidak bisa diambil karena peruntukannya telah diatur dan dilaporkan dalam laporan keuangan dimana tertera penggunaannya untuk apa saja.

Hal inilah yang menurut MUI musti dijelaskan saat akad dilakukan dengan ketentuan pernyataan yang jelas misalnya, bahwa si peserta BPJS bersedia dipotong dananya setiap bulan dan uangnya itu akan dipergunakan bersama secara gotong royong dengan peserta BPJS lainnya  dalam program jaminan kesehatan ini. Artinya kepesertaan BPJS bersifat pribadi tapi dalam payung gotong-royong, dan tidak ada penggantian uang premi yang diberikan kembali bila peserta belum pernah menggunakannya.

Hal ini menurut analisa saya artinya kepesertaan BPJS seharusnya sejak awal memberikan keterbukaan memilih kepada peserta , jangan sampai si sehat menyubsidi si sakit, namun ketika si sehat sakit dananya sudah habis-jadi ngapain jadi peserta BPJS kalau seperti itu? Inilah menurut saya jadi terkesan untung-untungan...kenapa nggak sakit dari dulu aja? Lol.

Saya pikir sudah saatnya BPJS membuka diri untuk membuka kemungkinan adanya seksi BPJS Syariah dan DPR harus ada dan hadir di depan untuk menjawab permasalahan rakyat ini dan bukan memikirkan dana aspirasi saja, karena BPJS cuma pelaksana dibawah  pemerintah yang merupakan mitra kerja DPR.

Ref:

http://news.fimadani.com/read/2015/07/30/ini-dalil-fatwa-mui-tetapkan-bpjs-kesehatan-haram/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun