Mengejutkan tapi bukan hal yang baru melihat hasil survei “Coming of Age on Screens” yang dilakukan oleh Crowd DNA pada 11 ribu remaja yang berusia 13-24 tahun di 13 negara termasuk Indonesia. Survei ini diambil pada April dan Mei 2015, saat masa akhir sekolah dan liburan. Survei ini menyoroti perilaku konsumen remaja terhadap Gadget dan Sosial Media.
Dan ini hasilnya, 84 persen remaja di Indonesia mengaku tidak dapat meninggalkan rumah tanpa telpon genggam mereka. Ini berarti 72 persen remaja setuju memiliki gadget atau teknologi terbaru itu penting dan wajib. 69 persen remaja juga mengatakan bila tidak dapat mengakses sosial media mereka merasa ketinggalan informasi. Media sosial populer mereka ternyata Facebook (FB) karena 79 persen dari mereka memilih FB sebagai tempat mereka bisa mendokumentasikan kegiatan mereka. Jadi nggak heran lah kalau 81 persen remaja di Indonesia mengaku lewat FB membuat mereka merasa “lebih dekat” dengan orang yang mereka kenal...wow...jadi agen curhat. Berarti tingginya penggunaan facebook di Indonesia didukung oleh para remaja yang merupakan potential user dan juga potential buyer.
Ketika disuruh memilih punya televisi baru atau punya handphone baru, 69 persen rela tidak punya televisi. Alasannya 79 persen dari mereka menganggap telpon genggam punya konten brand menarik yang bisa dishare dengan teman lainnya. Dan tidak aneh 86 persen remaja mengharapkan banyaknya konten yang menyenangkan dari brand.
Ketidak-tertarikan remaja kepada televisi mungkin menyiratkan bahwa produk yang one way communication yang dilakukan televisi sudah tidak efektif lagi bagi penonton remaja yang menginginkan ada interaksi. Interaksi para pengguna sosial media memungkinkan informasi dan komunikasi yang real time dan instan ..ya seenak mie instan di saat siang-siang puasa seperti ini. Dan itu terlihat dari kegemaran remaja Indonesia berekspresi lewat foto, video, emoticon dan emoji yang mampu menerjemahkan kreatifitas mereka dalam mengolah kosa kata secara visual. Pemirsa remaja yang berpendidikan mungkin sudah tidak mau jadi kambing congek menonton program televisi yang tidak menarik bagi mereka. Metodenya selain ganti channel dan sedikit iklannya dan sekarang main handphone/gadget. Ini tantangan buat para produser dan praktisi televisi menghadapi ceruk penonton remaja saat ini yang asyik dengan “dunia pergadgetan”.
Hal lain ditambah dengan adanya trend perubahan perencanaan pemasaran dalam melihat consumer journey (aktifitas pelanggan pada hal-hal baru).Cara pemasaran dan penawaran produk via koran dan televisi yang dianggap cara tradisional sudah tidak efektif karena selain mahal juga tidak personal. Wah mengapa bisa begini ya? Mungkin tayangan televisi bisa jadi tidak peka dengan masukan penonton sehingga bisa dianggap kritikan penonton pada tayangan televisi tidak dijawab dengan tayangan yang berkualitas. Artinya tolok ukur televisi yang diukur dengan rating dan banyaknya penonton tidak sesuai dengan keinginan penonton yang menginginkan program yang lebih berkualitas dan inspiratif.
Harus diakui sistem rating AC Nielsen memang baru menyasar sample penonton televisi yang menonton di rumah saja, padahal faktanya orang menonton tv tidak hanya di rumah saja, sedang survei lewat gadget dan sosial media sepertinya belum? Dan kelemahan inilah yang membuat pencapaian iklan tidak efektif karena pengguna gadget tentulah mereka yang lebih pas dikategorikan sebagai potential buyer berasal dari masyarakat ekonomi menengah keatas dan lebih berpendidikan.
Dengan 15 stasiun televisi nasional dan lokal bersiaran pada waktu bersamaan, persaingan untuk mendapat kue iklan sudah semakin berat..apalagi kalau kualitas penontonnya dipertanyakan dan ini yang terjadi dengan hasil perhitungan berbeda antara KPI dan AC Nielsen.
Sepertinya hapal program televisi dan bintangnya sudah nggak ngetrend lagi bagi para remaja...