Kembali YKS (Yuk Keep Smile) menuai kontroversi dengan cara "melecehkan" tokoh komedi kebanggaan Betawi dan Nasional almarhum Benyamin Suaib. Hal ini bukanlah pertama kali setelah sebelumnya ada tayangan dimana karakter dalam tayangan komedi ini menirukan gaya bicara Dai Kondang macam AA Gym.
Produk keluaran televisi tergantung dari hasil kreativitas awak produksi di belakang layar dari proses brainstorming hingga muncul ide "matang" untuk diajukan sebagai tema dalam sebuah acara televisi. Program yang tadinya pernah hanya muncul 2x seminggu tapi menjadi setiap hari, sudah saatnya untuk dievaluasi lagi. Tema-tema sensitif harusnya ditelaah dan diteliti apakah memang manfaatnya lebih banyak atau malah justru mudaratnya.
Program YKS Trans TV ini mirip dengan Campur-Campur di ANTV. Waktu Olga Syahputra masih "sehat" dia bisa muncul di dua program ini, suatu ekslusivitas yang hanya dimiliki Olga. Sementara Melissa Richardo tetap di Campur Campur. Pemain lain baik Denny Cagur yang dulunya main di Campur Campur pada awalnya sekarang ada di YKS.
Para pemain dalam YKS hanya memainkan peran yang telah disetujui oleh Eksekutif Produser dan Produser Pelaksana yang memang paling bertanggung-jawab dalam penayangan program televisi, karena medium televisi adalah media produser, beda dengan film dimana ini domain sutradara/director. Jadi untuk melihat akar persoalan ini, mengapa tema-tema nakal ini muncul harus Eksekutif Produser menjawabnya. Apakah rating dan share menurun? Apakah untuk menutupi absennya Olga dengan tema-tema sensitif diharapkan rating naik? Jangan-jangan demo masyarakat Betawi pencinta Benyamin Suaib memang sudah diprediksi? Bad news is Good news?
Trans TV pernah berpengalaman program Empat Mata dihentikan penayangannya dan diganti dengan Bukan Empat Mata, yang isinya sama saja sebenarnya dengan host yang sama Tukul Arwana. Kalau ya, apakah masyarakat masih permisif dengan "pembodohan" ini?
Masyarakat masih membutuhkan televisi tidak hanya saluran hiburan saja tapi juga informasi, namun persaingan antara televisi nasional sudah sangat ketat, tapi itu kan pilihan bisnis pengusahanya? Kalau dihitung kue iklan yang sudah diraup program ini, pastilah sudah sangat banyak, namun "sepertinya" kok program yang sudah "kering ide" ini tetap dipertahankan dan menjadi program unggulan?
Sudah saatnya pengelola program televisi apapun memikirkan tanggung jawabnya sebagai penyampai pesan moral terlebih dulu dan bukan aspek mencari keuntungan dengan mengedepankan pendapatan dari perolehan sponsor lewat iklan. Entah apakah tema komunikasi audiovisual ini masuk ke dalam debat calon presiden atau tidak? Bila ya, mungkin sudah saatnya untuk menggolkan televisi nasional yang bisa direlai ke seluruh rakyat dari Sabang ke Merauke hanya TVRI (Televisi Republik Indonesia) sementara 10 televisi lain yang sudah secara nasional harus merelai siaran dari televisi daerah yang dilewatinya. Hal ini akan memfilter tayangan nasional yang "menghina/melecehkan" tokoh/adat kebudayaan tertentu pada satu daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H