[caption id="attachment_345294" align="alignnone" width="620" caption="Sumber gambar: Pemilu.com"][/caption]
Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi politik menjelang pemilu tanggal 9 Juli 2014. Tanpa perlu dijelaskan lagi, saat ini banyak sekali pemberitaan media yang melibatkan dua kandidat capres-cawapres Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Bahkan disinyalir pemberitaan di media massa tersebut tidak berimbang. Tapi justru yang paling menarik adalah sejumlah berita terkait kedua kandidat di media sosial yang kalau disimak, hampir semuanya adalah kampanye negatif kalau tidak mau disebut black campaign.
Memang dengan adanya media sosial sekarang makin banyak orang yang berusaha menunjukkan dukungannya terhadap capres-cawapres tertentu. Entah itu dengan komentar yang menyerang salah satu kandidat, memasang avatar di profile picture, munculnya artikel-artikel yang terkesan mendiskreditkan, atau bahkan manipulasi berita yang diklaim dilakukan timses pihak tertentu (Obor Rakyat?). Semua itu disebarluaskan layaknya viral marketing.
Apalagi jika ada acara debat capres di televisi, semua orang akan berusaha mencari kesalahan masing-masing capres hingga yang paling kecil sekalipun (Ingat dengan kertas yang nyelip?). Kemudian semua berbondong-bondong membanjiri media sosial hingga menjadi trending topic. Walau sekarang diseling dengan berita Piala Dunia, tapi kampanye tidak akan berhenti hingga pada puncaknya tanggal 9 Juli nanti.
Padahal semua itu membuat para calon pemilih semakin kebingungan, karena masyarakat dibombardir dengan pemberitaan negatif masing-masing kandidat tanpa diimbangi dengan pemberitaan positif. Hal ini terjadi umumnya pada masyarakat awam. Makanya kalau kita lihat di hasil-hasil survei masih banyak calon pemilih yang ragu memilih kandidat capres.
Beberapa waktu lalu saya sempat berbincang dengan kenalan yang baru datang dari daerah. Beliau mengungkapkan bahwa dirinya enggan memilih Jokowi menjadi presiden dengan alasan kalau Jokowi maju sebagai Presiden nanti dikhawatirkan Ahok yang kini menjabat Plt Gubernur DKI akan mencoba membuat Jakarta menjadi pro Kristiani (Kenalan saya ini Muslim). Saya berpikir sejenak mencoba mencari letak alasan logis dibalik pernyataan tersebut. Walau saya tidak menepis anggapan tersebut (Maklum karena bicara dengan orang tua), tapi saya meyakini bahwa masih pemahaman masyarakat awam mengenai pemilihan presiden ini masih sangat minim.
Mungkin tidak sedikit juga yang berpikiran seperti itu. Saya mulai melihat survei dari PolcoMM agaknya masuk akal. Tapi saya justru mengkhawatirkan bahwa jangan-jangan banyak calon pemilih yang mendukung salah satu capres karena ngeri apabila Indonesia dipimpin oleh capres lain. Karena itu banyak kampanye negatif yang mengangkat isu seperti latar belakang dan historis dari capres. Seperti Prabowo yang memiliki riwayat pelanggaran HAM atau Jokowi yang dituduh pro Amerika dan antek Yahudi.
Atau ada juga yang mendukung salah satu capres karena kesal dengan kelakuan fans garis keras capres lain, seperti yang saya baca di berbagai jejaring sosial. Jelas ini merupakan alasan yang keliru untuk memilih. Karena memilih capres seharusnya berasal dari hati nurani dan ada baiknya juga tidak perlu dijadikan konsumsi publik jika Anda mendukung capres, terutama di jejaring sosial. Karena itu adalah privasi Anda.
Kalau kita lihat baru-baru ini ada sebuah survei dari Gallup, lembaga riset dari Amerika, yang memuat hasil polling kemenangan Prabowo-Hatta, belakangan diketahui bahwa berita tersebut palsu, dan berujung sindiran di media sosial. Sebenarnya kalau mau logis, kita tidak akan pernah tahu oleh siapa dan untuk apa berita survei palsu itu dibuat. Untuk menjaring pendukung? Untuk menjadi bahan tertawaan? Atau sengaja dibuat untuk memojokkan pihak tertentu?
Padahal sebenarnya masih banyak informasi positif yang bisa diperoleh dari kedua capres tersebut dibandingkan dengan menambah ‘koleksi’ berita negatif. Karena jika salah satu capres terpilih, belum tentu juga akan seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Apalagi mau tidak mau salah satu dari mereka akan memimpin Indonesia kelak. Lagipula terasa tidak etis juga jika kita hanya mengetahui sisi buruk dari kedua kandidat tanpa mengetahui nilai positifnya.
Justru edukasi masyarakat akan calon presiden yang baik-lah yang seharusnya dilakukan agar mengurangi jumlah golput dan mendorong masyarakat turut berpartisipasi dalam gelaran pesta demokrasi. Masyarakat saat ini sudah pintar untuk memilih dan seharusnya jumlah pemilih golput bisa ditekan hingga sekecil-kecilnya. Karena masyarakat Indonesia sendiri yang akan menentukan nasib bangsa. Maka partisipasi kita semua akan menentukan akan menuju kemana arah negara ini.
Sejenak kita coba ingat bahwa negara adidaya sebesar Amerika Serikat sekalipun pernah memiliki presiden George W. Bush yang dicap the worst president ever oleh rakyatnya sendiri sebelum pada akhirnya mendobrak tradisi dengan memilih presiden berkulit hitam pertama Barack Obama. Pemilihan tersebut dianggap menjadi kemenangan rakyat Amerika yang sebenarnya.
Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata dari JFK “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country”. Mari berpartisipasi menggunakan hak pilih Anda sebaik mungkin dan hindari golput. Sampai jumpa di TPS pada tanggal 9 Juli nanti.
NB: Tulisan ini hanya bersifat opini. Kalau ada pihak-pihak yang merasa tersinggung saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Apalagi sudah masuk bulan Ramadhan. Minal aidzin wal faidzin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H