Begitu menyebut 'Pahlawan Konservasi' dalam sebuah tulisan di media online ini, rupanya banyak reaksi, ada yang langsung berasosiasi pahlawan layaknya Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, yang harus meninggal dahulu. Bahkan, ada yang berasosiasi, dengan persepsi bahwa istilah Pahlawan Konservasi itu tidak pantas untuk para penangkar, karena harus memenuhi kriteria, yang sering digunakan negara.
Boleh sedikit tersenyum atas reaksi tersebut. Awal mula istilah Pahlawan Konservasi, penulis pun tidak mengetahui, siapa yang pertama kali melontarkan ke publik? Terlepas dari siapa yang melontarkan, perlunya menilik kembali dari pemaknaan kata dalam KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Di sisi lain, secara etimologis, ada juga yang menyebutkan Pahlawan dimaknai dari akar kata pahala dan berakhiran wan, pahalawan. Sebagai pembanding, ada dalam Bahasa Sanskerta, pahlawan dari kata phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala).
Dalam sebuah acara bertajuk “Superheroes: Inspirasi Kepahlawanan di Tengah Kemajemukan Indonesia”, di KAUM Jakarta Pusat, Sabtu, 10 November 2018, sejarawan Bondan Kanumoyoso menegaskan bahwa pahlawan bukan lagi seseorang yang berperang di masa lalu dengan bambu runcing untuk merebut kemerdekaan, tetapi jauh lebih luas dari itu.
"Generasi sekarang itu cakupan permasalahan yang mereka hadapi jauh lebih luas, musuh itu gak berupa kongkrit ancaman yang datang dari luar atau mengganggu kedaulatan RI. Permasalahan itu sudah melingkupi hampir semua aspek kehidupan, tadi kita dengar ada macam-macam hal yang dibicarakan ,mulai dari isu tenaga kerja , sampai masalah lingkungan hidup, hampir semua hal yang ada dalam kehidupan ini memiliki permasalahannya masing-masing dan menuntut adanya satu tindakan ataupun satu perbuatan untuk memperbaiki dampak-dampak negatif dari semua itu, dan itu kira yang saya sebut sebagai pahlawan," kata Bondan.
Terlepas dari berbagai perkembangan yang ada, dalam pemikiran penulis, selanjutnya ada 3 model dalam penggunaan istilah “pahlawan”, sebagai berikut :
Pertama, Pahlawan Sebagai Gelar
Banyak yang bereaksi sinis, ketika istilah Pahlawan Konservasi muncul untuk para penangkar burung. Bahkan reaksi hingga dengan kalimat sinis. Tidak mengapa, karena mereka masih memiliki persepsi, bahwa pahlawan konservasi tidak layak disandang para penangkar burung, dengan membandingkan kepada torehan prestasi Pahlawan Nasional.
Pahlawan Nasional adalah sebuah gelar, bukan sekedar sebutan, yang memiliki konsekuensi pada ekonomi, pada reputasi, sejarah. Pahlawan Nasional, gelar Pahlawan Nasional ditetapkan oleh presiden, dan sudah ada sejak tahun 1959, kemudian disempurnakan dalam bentuk aturan yang semuanya ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa gelar Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yakni Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera.
Pahlawan yang berhak menyadang gelar Pahlawan Nasional, ahli warisnya mendapatkan santunan dari negara, melalui pemerintah berupa uang santunan sebesar Rp 50 juta setiap tahun, sampai pada dua generasi ahli warisnya.
Kedua, Pahlawan sebagai sebutan/julukan
Saya masih teringat, sewaktu masa sekolah, guru diberi sebutan Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Ya itu sebatas sebutan, bukan Gelar Pahlawan dari Pemerintah. Sebatas sebutan, layaknya sebutan Pahlawan Devisa, untuk para TKI, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Pada tahun 2012, Deputi Perlindungan BNP2TKI Lisna Y Poelongan mengungkapkan jasa pengiriman uang alias remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menyumbang 10% nilai APBN. Ini berarti benar bila dikatakan TKI adalah 'Pahlawan Devisa Negara'. Nah, ini ada penekanan, bahwa secara kolektif, TKI itu mendapat sebutan pahlawan.
Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia pada 22 Agustus 2018, memberikan sebutan ‘pahlawan’ kepada Joni dari NTT dan Ginting, dalam pertandingan bulutangkis di Istora Gelora Bung Karno, karena perjuangan gigih saat pertandingan, meski dikalahkan oleh pebulutangkis China.
Jusuf Kalla, di kesempatan yang lain, juga menyampaikan "Kepahlawanan hari ini tentu berbeda dengan masa lalu. Kepahlawan masa lalu adalah membebaskan bangsa ini dari penjajahan, kepahlawanan pada dewasa ini adalah memajukan bangsa ini," ujar Jusuf Kalla dalam sambutannya sebuah acara di Gedung Kemenristekdikti, Jakarta, Sabtu 10 November 2018.
Erick Thohir, Ketua Panitia Pelaksana Asian Games 2018 juga pernah mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya seluruh olahragawan yang bertanding di Asian Games, dengan menyebutkan ‘pahlawan olahraga Indonesia’, di Upacara Penutupan Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Minggu 2 September 2018.
Di lain tempat, Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, dalam berbagai kesempatan di tahun 2018, menyebut berkali-kali kontingen olahraga yang berhasil meraih juara, dengan istilah Pahlawan Olahraga Indonesia.
Dari sinilah tidak berlebihan jika para penangkar burung, secara kolektif, disebut Pahlawan Konservasi, karena dari perannya, mampu memotong siklus jual beli burung, yang dahulunya para penghobi kicauan, pengkoleksi burung, pelomba burung, mengandalkan supply berbagai jenis burung dari tangkapan burung di hutan dan alam, saat ini sudah berubah haluan, karena penangkar mampu mensupply anakan burung. Selain itu, para penangkar, mampu mengembangbiakkan berbagai jenis satwa, meski terkadang rugi waktu, materi dan permodalan, karena sejatinya proses penangkaran belum tentu mendapatkan keuntungan uang, namun kepuasan proses, hasil dan riset. Ya, Pahlawan Konservasi cukup sebagai sebutan, tidak perlu menjadi gelar formal yang melekat kepada perorangan, juga tidak perlu menerima 50juta rupiah per bulan, bagi ahli warisnya, layaknya dalam Gelar Pahlawan Nasional.
Ketiga, Pahlawan sebagai penghargaan/sukacita/ekspresi
Pahlawan, sering dilekatkan pada prestasi dan ekspresi, oleh berbagai media di Indonesia, sebut saja media DETIK.com, berita Senin 07 Februari 2011, memberikan judul “Patih Laman, Sang Pahlawan Rimba dari Riau”, atas perannya menjaga hutan, dan mencegah pembalakan liar atau penebangan liar di hutan tempatnya tinggal. Patih Laman, adalah pemimpin adat Talang Mamak yang mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Patih Laman yang dikenal juga sebagai “orang pintar” pada November 1999 silam, mendapat anugerah tertinggi dari World Wide Fund for Nature (WWF) International for Conservation.
Terakhir, penulis pun merasa tidak bersalah jika sebagai ungkapan terimakasih yang tidak terhingga, dengan menyebut “Ibuku adalah pahlawan dalam hidupku”. (Ipan Pranashakti)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H