Bunyi murai adalah bel alam bagi lelaki tua berkulit hangus itu
Dengan topi caping, bersenjata pecut ia siap mengais rezeki
Menantang ganasnya tatapan Sang Surya demi nyawa-nyawa yang berteduh di gubuknya
Ia bersiul, bersenandung sembari menggiring kerbau-kerbau untuk menenggala sawah
Katanya, aku akan binasa tatkala hidup tanpa mimpi dan kebolehan
Zaman yang kian hari makin sesak dengan manusia-manusia egois dan tamak
Aku akan mati diterkam musuh, penguasa bahkan kawanku sendiri
Karena sejatinya hidup, layaknya perlombaan, Â yang kalah akan musnah
Di atas dipan-dipan yang hampir sekarat itu, ia mengajariku bersujud
Mengeja kalam-kalam Tuhan di tengah bisingnya para makhluk penghuni malam
Menggendongku dalam dinginnya subuh untuk menunaikan panggilan Sang Khalik
Meyakinkanku bahwa pemimpi sejati harus tunduk pada aturan Tuhan
Untuk lelaki tua yang pernah meneduhiku dengan setangkai daun pisang tatkala hujan bertamu
Untuk lelaki tua yang sering mendudukkanku di pundak legamnya tatkala aku tak mampu berjalan di masa kecil
Untuk lelaki tua yang kupanggil 'Bapak'
Balasanmu adalah surga
Jakarta, 2019
Dari putrimu