Menurut berita 14 Maret 2013, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menunjukkan ada 6,5 juta WNI yang bekerja sebagai TKI di 142 negara di dunia, sementara negara anggota PBB ada 194 negara. Jadi, TKI ada nyaris di seluruh dunia, yang berasal dari 392 kabupaten atau kota di NKRI yang memiliki total 500 kota atau kabupaten. Bayangkan, nyaris seluruh Indonesia ada di seluruh dunia lewat TKI yang tersebar (baca di sini).Â
Apakah Indonesia hegemonik di dunia? Mau kita gitu kan? Nyatanya gak! TKI kita yang luar biasa banyak itu, di dunia ini cuma menempati posisi marjinal. Bukan pemain, tapi penonton. Bukan menjadi bos, tapi bekerja sebagai orang upahan. Bahkan tidak sedikit dari mereka diperlakukan dengan bengis oleh majikan-majikan mereka seolah mereka itu para budak saja. Kalaupun ada kekecualian, ya hanya segelintir. Kita tentu ingin, kalaupun ada banyak TKI di luar negeri, mereka hendaklah jadi para pemain, orang-orang yang mampu ikut membentuk dan mengubah dunia. This is my dream!Â
Oh ya, dari jumlah 6,5 juta itu ada lebih dari 2 juta TKI di Malaysia yang bermasalah (berita 3 Desember 2015) dari total 2,5 juta TKI (legal dan ilegal) di negara tetangga ini. Dari jumlah 2 juta TKI yang bermasalah ini, ada 1,2 juta TKI yang harus ikut program pemutihan (data BNP2TKI yang dirilis 2 September 2011) (baca di sini dan di sini).
Lalu, berapa banyak TKA yang ada di Indonesia? Karena malas mencari dan menemukan data resmi, atau karena ada motif-motif lain, kini sedang muncul paranoia di sejumlah kalangan tertentu yang mendorong mereka berilusi bahwa ada lebih dari 10 juta TKA telah menyusup masuk ke Indonesia, yang umumnya dikatakan telah datang dari China Asing Aseng.
Tetapi tunggu dulu. Fakta statistik berbicara lain. Menurut data resmi PPTKA Ditjen BINAPENTASKER tentang jumlah TKA dan klasifikasi keahlian dan pekerjaan mereka sejak 2011 hingga Juni 2016, ada 77.307 TKA di Indonesia tahun 2011. Jumlah ini tidak bertambah, malah dari tahun ke tahun menurun, dan akhirnya tertinggal total 43.816 TKA di Indonesia tahun 2016 (baca di sini).
Loh kok bukan bertambah? Kan disinyalir ada 10 juta TK Asing Aseng yang telah masuk ke Indonesia? Ya, jawabnya simpel: angka 10 juta TK Asing Aseng itu HOAX yang bersumber dari kondisi paranoid, atau dimaksudkan sebagai sebuah hasutan. Tapi kalau wisatawan China sejumlah besar ini bertahap akan melancong ke bumi Indonesia, waah itu suatu sumber pemasukan besar devisa yang harus disyukuri.Â
Menurut data yang dipublikasi Biro Humas Kemnaker RI, jumlah wisatawan dari Greater China (mencakup China, Hongkong, Macau dan Taiwan) ditargetkan akan berjumlah 2,1 juta orang di tahun 2016, lalu 2,5 juta di tahun 2017, kemudian 2,8 juta di tahun 2018, selanjutnya 3,3 juta orang dalam tahun 2019. Jadi dalam 4 tahun (2016-2019) diharapkan akan ada pelancong dari Greater China sejumlah 10,7 juta orang. Alhamdulilah jika target 4 tahunan ini tercapai.
Lalu, kenapa jumlah TKA makin menurun di negeri kita? Ya, pasti karena putra-putri Indonesia makin banyak yang bisa menjalankan pekerjaan-pekerjaan profesional di banyak bidang yang dulu hanya bisa dijalankan para TKA. Ini tentu sebuah fakta yang mengembirakan dan membanggakan! Tapi mungkin juga ada sebab-sebab sekunder lain, misalnya mereka, para TKA, tidak betah bekerja di suatu negara yang terus dicoba ditidakstabilkan dan dipecahbelah lewat isu-isu makanan gorengan religiopolitik yang bumbu pedasnya sangat overdosis.Â
Tak ada jalan lain jika kita mau jadi bangsa dan negara yang maju, besar dan mandiri, yang far beyond America or China or EU, kecuali menjadikan pendidikan ilmiah dan riset sainstek di banyak bidang kehidupan sebagai prioritas paling atas untuk segala jenjang usia produktif manusia Indonesia. Rumah ibadah agama-agama sudah kebanyakan di bumi Nusantara ini. Yang masih langka adalah sentra-sentra litbang lintasilmu dan laboratorium-laboratorium sainstek modern yang dibangun untuk masing-masing jenjang usia sekolah dan berbagai jenis bidang ilmu pengetahuan dan kepakaran.Â
Percaya kepada agama anda tentu tetap perlu, tapi jangan overdosis. Overdosis dalam bergama menyebabkan akal kita yang cerdas tidak terbangun, dan kita menjadi mudah marah dan serba sensitif dan serba ketakutan, kehilangan kepercayaan diri. Percaya pada pesan yang saya telah tulis pada satu paragraf persis di atas membuat kita tidak akan bisa overdosis. Ya, karena sainstek itu tidak pernah overdosis, karena selalu terbuka untuk difalsifikasi dan perlu melakukan koreksi diri terus-menerus, tanpa bisa menjadi absolut. Dunia sainstek itu bukan dunia dogma-dogma keagamaan yang umumnya diabsolutkan.Â
Meskipun tidak ada sains yang sudah final dan absolut, jangan diabaikan fakta ini: sainstek telah memberi banyak bukti tentang manfaat, kepentingan dan kegunaannya yang signifikan untuk kehidupan yang makin baik dan peradaban yang makin maju dan ketahanan eksistensi spesies Homo sapiens bukan hanya di planet Bumi kini, tapi juga, kelak, di dalam jagat raya tanpa batas.